Home

My World

Jumat, 18 September 2015

Belum Ada Judul

Belum Ada Judul
Gadis itu berjalan gontai menuju kelas paling ujung di salah satu koridor sebuah sekolah ternama di kota itu. Kelas paling ujung itu adalah kelas 12 IPA 3, Ia  tampak enggan melangkahkan kakinya menuju kelas tersebut, sejenak ia menghela nafas panjang lalu membuka pintu kelas tersebut. Belum selangkah ia  masuk ke dalam kelas ‘Brugh!!’. Seseorang menabraknya, hingga Ia jatuh terduduk, seorang anak laki-laki bertubuh tinggi, berambut cepak, serta mata coklat yang terlihat dingin. Anak laki laki itu mengulurkan tangannya pada gadis itu, bermaksud untuk membantunya bangun. Namun uluran tangannya langsung ditepis oleh gadis itu. Gadis itu segera bangkit dari duduknya, wajahnya sudah mulai memerah karena malu.
   “Nggak usah sok bantuin aku!” Ujar gadis itu ketus, anak laki laki itu hanya tersenyum pada gadis itu.
“Nggak usah senyum senyum deh, Aku bilangin sama kamu ya, lain kali kalau jalan pake mata!” bentak gadis itu
“ Vania, Vania. Kamu belajar bego dimana sih ?, dari dulu yang namanya jalan ya pake kaki, bukannya pake mata, mata tuh buat lihat jalannya.”  Ujar anak laki laki itu dengan nada mengejek.
“ Ya ya ya, aku kan belajar bego dari kamu !”  Ujar gadis itu tak mau kalah.
“ Kalo gitu, kayaknya kamu harus belajar lebih giat lagi, muridku tersayang !.”  Ucap anak itu sambil menepuk dahi Vania. Vania hanya diam, ia tak bisa membalas kata katanya lagi. Anak itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan Vania dengan wajah merah penuh amarah.
“REVAAAAAAN………………!!!!!”
   Yup, nama anak laki laki tadi adalah Revan, Ia adalah ketua kelas 12 IPA 3, Ia adalah siswa yang aktif di organisasi, seperti OSIS, PMR, PRAMUKA, dan lain sebagainya, Ia juga sering di minta untuk menjadi panitia pada even-even di sekolah, dan bukan cuma itu saja, Ia memiliki segudang prestasi akademik, seperti juara 2 OLYMPIADE SAINS tingkat provinsi, juara harapan 1 dalam KARYA ILMIAH REMAJA tingkat kota, dan masih banyak lagi.  Sedangkan gadis itu adalah Vania, Ia memang tidak se-pandai Revan, tapi kalau masalah olahraga Ia jagonya, tahun ini Ia di tunjuk untuk menjadi ketua tim Basket putri di sekolahnya, sebelumnya Ia juga pernah menjabat sebagai wakil ketua tim Soft Ball SMA Airlangga ini ( oh ya sampai lupa, nama sekolah tempat mereka belajar ini adalah SMA Airlangga, keren kan ?! hehehe ^_^). Vania berkali-kali mengikuti kejuaraan nasional, dan walaupun bukan juara satu, tapi setidak-nya Ia dan timnya selalu bisa membawa piala untuk SMA Airlangga. 2 kepribadian yang berbeda ini awalnya di pertemukan dengan status sahabat, mereka berdua sudah menjadi sahabat sejak kelas 4 SD, namun karena sebuah kesalahpahaman, mereka pun berubah, dari sahabat yang amat dekat, menjadi musuh abadi yang mungkin akan kekal.


   “ Brak !!!!” Vania melemparkan tas nya yang penuh buku itu tepat di mejanya, sontak itu membuat Sera sahabat sekaligus teman sebangkunya hampir melompat dari kursi tempatnya duduk.
   “Apaan sih Van, ini masih pagi tau !!” seloroh Sera.
   “ Ya, Aku juga tau ini masih pagi, dan kenapa ada aja orang yang cari gara gara sama Aku, padahal dia tahu ini masih pagi !!” Ujar Vania bersungut sungut.
   “ Biar Aku tebak,.. Revan, kan ?!” Tebak Sera pada Vania yang entah sejak kapan sudah ada di sampingnya.
Vania menghela nafas panjang, kemudian menganggukkan kepala-nya. Ia menundukkan kepalanya hingga menyentuh meja di depannya, dan lagi-lagi Vania menghela nafas panjang, kini raut wajahnya terlihat sedih, Sera yang memang tak pernah melihat sahabatnya sedih itu langsung kebingungan.
   “ Van, ?” Tanya Sera pada Vania yang masih menundukkan kepalanya.Vania mengembalikan posisinya seperti semula dan dengan senyum lebar Ia berkata “ Nggak papa kok.” Walau dengan suara yang sedikit tertahan.
 


Bel tanda istirahat telah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar kelas. Kantin jadi penuh sesak dengan anak anak yang kelaparan, Perpustakaan yang tadinya sepi, juga ramai di serbu para kutu buku, Masjid penuh dengan siswa yang mengejar target sholatnya, lapangan juga ramai dipenuhi siswa laki laki yang bermain sepak bola. Tapi bukan berarti kelas menjadi sepi, tetap saja ramai, dengan para gadis yang ceriwisnya minta ampun.
   Di sudut kelas, Vania yang bukan tipe anak yang suka membicarakan orang lain, atau membanggakan harta orangtuanya itu memilih untuk duduk di sudut kelas, di dekat galon air, dan rak buku, Ia duduk di sebuah kursi marmer yang memang disediakan sekolah untuk setiap kelas. Sejak bel berbunyi, Ia sudah berada di sana, sedari tadi Vania terus memandang kearah langit, Ia berpikir andai Ia terlahir sebagai seekor burung, mungkin Ia tak perlu menghadapi masalahnya saat ini, masalah yang seakan tidak ada akhirnya. Ya , bisa di bilang kesalahpahaman antara Vania dan Revan cukup rumit, masalahnya berawal dari Revan yang bergabung dengan club majalah sekolah, Ia banyak menulis artikel untuk majalah sekolah, Ia juga memiliki banyak penggemar karena tulisannya. Tapi itu bukan jadi penghalang untuk persahabatan Vania dan Revan, Namun setelah Revan menulis artikel tentang Vania, semuanya berubah. Vania menjadi sangat marah pada Revan, padahal Vania sendiri belum membaca artikel itu, yang ada di pikirannya, Revan pasti menulis hal  jelek tentangnya, karena setelah majalah itu terbit, banyak siswi penggemar Revan yang membencinya, dan bahkan ada yang sampai melabraknya. Vania menghela nafas panjang, matanya menerawang jauh saat dimana ia dan Revan masih baik-baik saja.
   “ Wooiii.., ada orangnya nggak sih ?” Ujar Sera sambil mengetuk dahi Vania seperti mengetuk pintu rumahnya sendiri.
   “ Apaan sih Ser, sakit tau !” Gerutu Vania, tersadar dari lamunannya.
   “ Ya, abis-nya dari tadi Aku di kacangin sih,” Ujar Sera dengan wajah cemberut
   “ Eh, masa’ sih ?”
   “ Hhhh,… ya ampun non, dari tadi tuh kamu ngelamun aja, sampe nggak tau kalau ada aku di sini” Ujar Sera masih dengan wajah cemberutnya.
Baru saja Vania akan membuka mulutnya ketika Revan datang dengan diikuti banyak anak lain di belakangnya, seperti biasa ada pengumuman yang harus Ia sampaikan.
   “ Oke, temen-temen, Aku baru dapet informasi dari Bu Fahma, kalau 1 minggu lagi akan diadakan lomba sastra untuk memperingati BULAN BAHASA, so, kita harus persiapin ini dengan sebaik mungkin, tahun lalu kakak kelas 12 IPA 3 berhasil menyabet 4 juara pertama, jadi tahun ini kita harus bisa merebut semuanya !” Ujar Revan dengan lantang
   “ Emangnya, sekarang kita mau pilih siapa yang akan mewakili kelas kita untuk lomba itu?” Tanya Vania. Ada sedikit nada kesal pada kata katanya itu.
   “ Oh, bukan sekarang, tapi nanti pulang sekolah, jadi sepulang sekolah nanti jangan ada yang pulang dulu ya !” Pinta Revan pada teman-temannya.
   Setelah pengumuman selesai, semua siswa 12 IPA 3 kembali ke kegiatannya masing-masing. Tapi tidak dengan Revan, Ia menghampiri Vania yang melanjutkan kegiatan melamunnya di sudut kelas, awalnya Revan tampak ragu, namun Ia mencoba untuk tidak ragu lagi, karena yang di hadapinya hanyalah Vania, sahabatnya_setidaknya sebelum kesalahpahaman itu terjadi_
   “ Van, aku mau ngomong  sama kamu.” Ujar Revan.
Vania menengadahkan kepalanya, Ia bertemu muka dengan Revan. Wajahnya sempat memerah karena malu, namun itu Ia tutupi dengan nada bicara yang cukup keras.
   “ Ngomong aja  !” Ujar Vania masih dengan nada yang sama saat Ia berbicara pada Revan tadi.
   “ Uhm, masalah 1 tahun lalu itu……”
Vania tercekat mendengar kata “Masalah 1 tahun lalu” keluar dari mulut Revan, Ia segera bangkit dari tempat duduknya
   “ Kalau soal itu, jangan dibahas sekarang !” Ujar Vania, kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Revan di sudut kelas.
 


   Pukul 14.30, saat yang paling di tunggu semua siswa SMA Airlangga , pulang. Tapi kelas 12 IPA 3 masih sibuk mengurusi siapa yang akan mewakili kelas mereka pada even BULAN BAHASA itu. Kelas yang satu ini memang sangat ambisius untuk menyandang gelar juara UMUM pada even ini. Semuanya berdebat ingin ikut ini lah, ikut itu lah (Lalalala :p), sampai akhirnya, hamper semua lomba telah terisi, hanya tersisa lomba membaca puisi,
   “ Guyss, tinggal satu lagi, apa ada yang mau ngisi ?” Tanya Revan pada teman temannya
   “ Kan tinggal 2 orang, kita suruh aja mereka berdua,” Usul Daffa teman sebangku Revan
Semua anak  melihat kearah Vania dan Ratna secara bergantian. Vania yang merasa risih karena dilihat seluruh kelas pun, akhirnya angkat bicara,
   “ Rev, kamu tau kan kalau aku sama sekali nggak suka sama sastra, jadi jangan ikut-in aku buat acara yang kayak begini.” Ujar Vania
   “ Lho, ya nggak bisa gitu dong Van, kita semua udah terdaftar dalam perlombaan itu, kan nggak adil, kalau cuma kamu yang nggak terdaftar !” Sergah Daffa
   “ Kalau Aku bilang nggak mau, ya nggak mau !!” Bentak Vania pada Daffa, yang memang saat itu ada di depannya.
   “ Weitss, udah udah, kalau dia nggak mau jangan di paksa.” Ujar Revan menengahi mereka. “Gini aja deh, Ratna kamu ya yang ikut lomba puisi itu, dan Kamu Van, kamu cadangan,” Lanjut Revan. Ratna menganggukkan kepalanya, sementara Vania tidak terima dengan keputusan Revan,
  “Nggak,nggak,nggak. Apaan jadi cadangan segala, nggak ah !” Ujar Vania
  “ Ini udah jadi keputusanku, lagi pula kan kamu cuma jadi cadangan, yang nantinya maju untuk lomba juga Ratna kan ?” Tanya Revan dengan nada serius, nada bicara seperti inilah yang selalu membuat Vania tak bisa membantah perkataan Revan.
  “ Okelah, terserah kamu aja.” Ujar Vania sedikit kesal.
  Setelah perdebatan itu selesai, semua siswa 12 IPA 3 meninggalkan kelas, dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Tak terkecuali Vania dan Revan. Rumah mereka berdua memang berdekatan, jadi tak jarang mereka pulang bersama. Dulu, ketika hubungan persahabatan mereka masih baik baik saja, selalu ada senda gurauan di antara mereka, saat menelusuri jalan kompleks perumahan yang sepi itu, namun semenjak kesalahpahaman itu, setiap kali pulang bersama (secara tidak sengaja tentu saja), jalan kompleks yang sudah sepi, menjadi semakin sepi tanpa ada suara di antara mereka. Walaupun sebenarnya, Vania selalu menghindari pulang bersama dengan Revan.
  Vania berjalan sendirian, Sera yang kebetulan tinggal di perumahan yang sama, sudah berbelok arah menuju blok C, sementara Vania harus terus berjalan menuju rumahnya yang berada di blok E. Saat memasuki kawasan blok D, ada suara yang memanggilnya, sejenak Vania berfikir bahwa yang memanggilnya bukanlah manusia, namun pemikiran tersebut hilang, setelah Revan muncul disampingnya.
  “ Lho he, kok kamu ada disini sih ?”  Tanya Vania heran
  “ Lho he, kamu itu gimana sih, rumahku kan juga ada di blok E, jadi nggak salah dong kalau aku ada di sini.” Ujar Revan menirukan gimik Vania, jalan menuju blok E memang  hanya ada satu ini.
  “ Apaan sih, nggak usah ikut ikutan lho he lho he, deh !” Ujar Vania kesal
  “ Ya udah, ya udah, kalau gitu he lho,he lho aja gimana ??”  Ujar Revan dengan nada menggoda. Vania tertawa mendengar perkataan Revan. Hal inilah yang selalu di rindukan Revan, senyum dan tawa bahagia dari sahabatnya, indah rasanya bisa melihat Vania tertawa seperti ini lagi. Revan terus memandangi Vania, Vania yang sadar jika Ia sedang diperhatikan menghentikan tawanya.
  “ Woi !!, keluar tuh mata nanti, merhatiin aku sampai segitunya.” Ujar Vania, Revan tampak terkejut, dan menjadi salah tingkah
  “ Nggak, lagi pula siapa juga yang memperhatikan kamu.” Ujar Revan gelagapan.
  “Revan, Revan, aku tuh tahu semua kelakuan kamu, kita kan udah sahabatan lama banget.”
Revan terkejut mendengar perkataan Vania tadi, Vania yang menyadari apa yang keluar dari mulutnya juga terkejut. Sejenak suasana kembali sepi, keduanya tak bisa mengeluarkan kata-kata.
  “ Sahabat ?” Tanya Revan kemudian, ” Kamu masih menganggap Aku sahabat ?.” lanjut Revan dengan suara yang sedikit tertahan. Vania tak bisa berkata apa apa, kedua mata nya sudah mulai berair, wajah nya juga sudah mulai memerah. Hari semakin sore, langit sudah menunjukkan guratan merah, tapi Vania belum juga menjawab pertanyaan Revan.
  “Nggak…” Lirih Vania “Aku nggak akan pernah anggap kamu sebagai sahabat lagi” air mata sudah berada di  pelupuk matanya sekarang.
  “ Tapi kenapa Van, apa salah ku, sampai kamu marah banget sama aku, apa?” Tanya Revan Lagi.
  “ Kamu nggak usah pura pura bego, aku yakin kamu tau apa kesalahanmu. Inget baik baik ya Rev, aku sama sekali nggak mau berteman apalagi bersahabat sama seorang pengkhianat kayak kamu, ngerti kamu !!” Ujar Vania dengan nada tinggi. Air mata sudah berada di pelupuk mata Vania, Vania segera pergi meninggalkan Revan sendiri. Revan tak tahu lagi harus berbuat apa, apa yang harus Ia lakukan agar Vania mau memaafkannya, dan kembali menjadi sahabatnya.
 
  Satu minggu telah berlalu, semua persiapan yang dilakukan oleh kelas 12 IPA 3 telah sempurna, dan sekarang adalah saat yang telah di tunggu tunggu, hari di mana mereka akan menunjukkan yang terbaik dari kelas mereka. Aula disulap menjadi sebuah tempat yang megah. Panggung lengkap dengan dekorasi yang indah, sound sistem super mewah, dan segala hal yang menyenangkan telah tersedia disana (tapi bukan seperti taman bermain).
   Pukul 07.00 tepat, seluruh siswa SMA Airlangga berkumpul di Aula untuk pembukaan acara, setelah itu perlombaan dimulai. Aula menjadi penuh dengan para siswa, baik peserta atau para supporter memenuhi aula, ada juga yang bergerombol di depan beberapa kelas yang digunakan untuk lomba. Mungkin hanya lapangan yang terlihat sepi, walaupun tidak sepenuhnya sepi, Vania ada disana.
Ia memantulkan bola basket kasana kemari, terkadang Ia juga melakukan “JUMP SHOOT”  atau bahkan “THREE POINT”. Yang tidak semua anggota club basket putri bisa melakukannya. Vania berhenti memainkan bola basket itu, Ia mengambil botol air mineral yang ada di tepi lapangan, dan langsung menghabiskannya dengan satu tegukan, Vania duduk di antara pepohonan yang ada di tepi lapangan. Beberapa hari terakhir ini Vania sering sekali menghabiskan waktu istirahatnya di lapangan, entah itu bermain bola basket atau terkadang hanya duduk termenung di bawah pepohonan, persis seperti yang Ia lakukan saat ini. Dan itu Ia lakukan, setelah pertengkarannya dengan Revan minggu lalu.
   Sementara itu di aula, siswa kelas 12 IPA 3 kebingungan karena tiba tiba Ratna, perwakilan lomba baca puisi terkena Typhus dan harus dirawat di rumah sakit.
   “ Ya terus sekarang kita mesti gimana dong ?!” Tanya Sera panik.
   “ Oke , Kamu tenang dulu dong Ser. Jangan panik.” Ujar Revan berusaha menenang kan temannya yang satu itu.
   “ Rev, bukannya kamu nyuruh Vania buat jadi cadangan ya, kenapa kita nggak minta dia aja buat gantiin Ratna” Usul Daffa.
   “ Caranya ?, ayolah dulu aja waktu aku minta dia jadi cadangan susahnya minta ampun, apalagi sekarang disuruh buat mewakili kelas.” Ujar Revan
   “ Ya, kamu kan ketua kelas, gimana caranya kamu bisa bujuk dia supaya mau, lagi pula yang namanya cadangan itu dibuat, supaya kalau ada apa apa sama tim inti ada yang bisa menggantikan.” Ujar Daffa  
   “ Ya, oke, oke, aku akan bujuk dia, tapi aku nggak janji dia mau.” Ujar Revan kemudian pergi menemui Vania. Tidak sulit untuk menemukan Vania, Revan sudah tahu di mana Vania sekarang. Vania masih duduk dengan membenamkan wajahnya pada kedua kakinya yang ditekuk hingga ke dada, saat Revan berada di sampingnya. Vania menyadari bahwa ada seseorang di dekatnya saat ini, Ia mengangkat wajahnya dan melihat Revan. Vania langsung membuang pandangannya ke tengah lapangan.
   “ Mau apa kamu ke sini ?” Tanya Vania dengan tetap memandang ke tengah lapangan.
   “ Anak anak minta supaya kamu mau menggantikan Ratna di perlombaan baca puisi.” Jawab Revan  singkat.
   “ Nggak nggak nggak, kan aku udah pernah bilang kalau aku nggak akan pernah mau ikut acara seperti ini, nggak ah !” Ujar Vania  sedikit kesal.
   “ Kalau ini karena pertengkaran kita, tolong lupakan semua itu, aku mohon jangan sangkut pautkan hal itu dengan ini, kamu lakukan ini demi kelas, kamu nggak mau ngelakuin ini demi kelas ?” Ujar Revan tegas.
   “Ya, ya terus aku harus pake baju kayak gini ?” Ujar Vania mengelak. Saat itu Ia memang hanya mengenakan pakaian sederhana (celana jins ¾, kaos oblong berwarna biru laut, dan sepatu cats putih).
   “ Kalau kamu mau, kamu bisa pinjam gaun milikku.” Ujar seorang gadis yang sepertinya sudah ada di belakang mereka sejak tadi. Terra, murid pindahan dari Surabaya. Dia baru masuk sekitar 3 hari yang lalu, jadi dia tidak ambil bagian dalam even kali ini.
   “ Gaun kamu, maksudnya ?” Tanya Vania heran.
   “ Rumahku tidak jauh dari sini, dan aku rasa mungkin tidak akan sempat jika kamu harus pulang dulu, kebetulan juga aku punya banyak sekali gaun yang bisa kamu kenakan.” Ujar Terra. Revan langsung menyetujui hal itu, dengan susah payah Vania dibawa ke rumah Terra yang hanya sepelempar batu dari sekolah. Sampai di sana Vania masih saja membuat ulah, yang katanya gaunnya nggak cocok lah, make up nya terlalu tebal lah, dan lain sebagainya.
   Setelah 15 menit di “otak atik” oleh Terra, mereka kembali ke sekolah, saat melintasi lapangan Vania terus menundukkan kepalanya. Beberapa anggota club basket sedang bekumpul disana, ‘ngapain sih anak anak pake kumpul di situ segala!’ gerutu Vania dalam hati
   “ Hei, bukannya itu ‘Ratu Lapangan’ ?” Teriak seorang siswa, serentak seluruh siswa yang sedang ada di lapangan itu mengalihkan pandangan mereka ke arah Vania. Mereka seperti melihat seorang bidadari yang baru turun dari atas genteng, tak berkutik sama sekali. Vania memang terlihat berbeda, ia sangat cantik dengan dress berwarna ungu muda setinggi lutut, Sepatu ber-hak tinggi sekitar 5 cm, rambut yang biasa di kuncir kuda kini digerai dengan pita merah jambu yang menghiasi kepalanya. Make-up yang ia pakai juga tidak berlebihan, sangat serasi dengan gaun yang ia kenakan.
   “ Wah, wah, wah ternyata ratu lapangan kita yang satu ini bisa jadi Cinderella juga ya.” Goda Sera pada Vania yang baru saja memasuki aula.
   “ Apaan sih Ser, Aku jadi kayak gini juga karena kelas kita tau !” Ujar Vania dengan wajah yang tertekuk.
   “ Udah, udah nggak usah ribut, sekarang kan kita udah bisa tenang karena ada yang mewakili kelas kita di perlombaan ini, dan kamu memang terlihat cantik Vania, jadi jangan marah kalau ada orang yang memujimu.” Puji Terra, wajah Vania langsung berubah menjadi merah seperti tomat yang baru saja matang.
   “ Nih.” Ujar Revan sambil mengangsurkan selembar kertas pada Vania “ Itu puisi yang dibuat sama Ratna kemarin, !” lanjut Revan tanpa memandang Vania
   “Ini  yang harus aku baca ?” Tanya Vania yang juga tidak memandang Revan.
   “ Hmm..” jawab Revan singkat, kemudian meninggalkan aula.
Satu demi satu peserta menampilkan bakat membaca puisi yang menakjubkan dengan berbagai tema, ada yang menggunakan alat peraga, ada yang menggunakan alunan music, dan lain sebagainya. Vania merasa gugup, karena ini pertama kalinya ia harus tampil di depan umum sendirian, karena biasanya ia tampil beregu dengan tim basket atau tim softball-nya, dan kali ini tanpa persiapan pula. Berkali kali Vania pergi ke kamar mandi, dan tak jarang ia menggigiti ibu jarinya. Gugup katanya.
Kini saat yang sudah di tunggu siswa 12 IPA 3, Vania naik ke atas panggung, kedua kakinya gemetar, keringat dingin mulai bercucuran, Vania mulai membacakan puisi yang di buat Ratna dengan sangat indah, para guru yang menjadi juri tidak percaya bahwa gadis yang di juluki RATU LAPANGAN ini bisa membawakan puisi dengan begitu indah. Puisi berjudul “SAHABAT” itu berhasil membuat seisi aula merinding. Semua larut dalam untaian kata yang di ucapkan Vania, ekspresi serta gesture tubuhnya membuat puisi yang ia bawakan semakin indah. Tak ada yang percaya bahwa Vania bisa membawakan puisi seindah itu. Revan yang sedang bersandar di pintu aula tersenyum kecil, seakan ia sudah tahu bahwa Vania memang akan membawakan puisi itu dengan indah. Puisi selesai dibacakan seisi ruangan bangkit dan bertepuk tangan. Vania yang masih gemetar segera turun dari atas panggung. Di belakang panggung, teman teman Vania menyambutnya dengan gembira. Sera bahkan memeluk sahabatnya itu dengan erat.
“Tuh kan, aku bilang juga apa, kamu pasti bisa kok !” ujar Sera bangga.
“ Iya,iya percaya deh.”  Ujar Vania sambil tersenyum.
Revan hanya bisa melihat kegembiraan itu dari kejauhan. Ia tak ingin kebahagiaan teman temannya itu hancur hanya karena kehadirannya. Vania tampak sangat bahagia, ia terus saja tersenyum. Tanpa tahu bahwa ia sedang diperhatikan.
“ Kalau dia emang sahabat kamu, seharusnya kamu ke sana dong, bukannya ngumpet di sini !”
Revan terperanjat saat tahu siapa yang ada di belakangnya saat itu.
“ Daffa, ngagetin aja !” Ujar Revan masih dengan wajah terkejutnya.
“ Kalau kamu tetap di sini, kamu nggak akan pernah jadi sahabat nya lagi.” Ujar Daffa dengan nada bijak yang sering ia gunakan untuk menasehati teman temannya.
“ Kamu nggak tahu masalahnya Daf, ini tuh….ini…”  Revan terlihat sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di otaknya saat ini.
“ Rev, aku kasih tahu ya, kalau Vania itu emang bener-bener sahabatmu, dia akan maafin kamu apapun alasan kamu nantinya.” Ujar Daffa sambil melipat kedua tangannya ke depan dada.
Apa benar Vania akan memaafkannya semudah itu, apa yang di katakana Daffa itu benar, apa bisa……. Revan mengembalikan perhatiannya pada Vania, gadis itu masih terus bercanda dengan bersama anak anak lainnya. Revan tak tahu apa yang harus ia lakukan saat itu, ia menundukkan kepalanya, raut wajahnya berubah seketika, lama ia larut dalam kenangan nya bersama Vania. Saat ia mengangkat kepalanya, Vania sudah ada di hadapannya. Revan hampir meloncat karena terkejut.
“ Kenapa terkejut seperti itu ?” Ujar Vania
“ Kenapa kamu….., bukannya tadi kamu….”
“ Ya, tadi Daffa bilang kamu mau bicara sama aku, bicara apa ?” Tanya Vania
“ Bicara ?, nggak, siapa yang mau ngajak kamu bicara.” Ujar Revan sambil terus melihat Daffa yang sudah bersama teman temannya. Vania tampak kecewa dengan jawaban Revan.
“ Ya udahlah kalau emang kamu nggak mau bicara, aku balik aja deh !” Ujar Vania sambil membalikkan badannya. Revan menahannya dengan menarik lengan Vania
“ Tunggu sebentar, iya sih ada yang mau aku bicarakan sama kamu.” Ujar Revan “ tapi nggak di sini.”
Vania mengerutkan dahinya, ia bingung dengan apa yang sedang di lakukan Revan, sejak mereka tiba di lab Bahasa, ia hanya diam dan mondar mandir tidak jelas. Vania baru saja akan membuka pintu saat Revan menarik tangannya.
“ Tunggu, aku  minta maaf .” Ujar Revan. Vania menutup kembali pintu yang sudah setengah terbuka itu. Ia memandang Revan heran, untuk apa ia meminta maaf, pikirnya.
“ Aku tau kamu marah sama aku karena artikel yang aku buat di majalah sekolah setahun yang lalu itu kan, tapi kenapa, aku nggak nulis hal hal jelek tentang kamu di artikel itu.” Ujar Revan dengan suara yang mulai parau. Saat itu Vania ingat bahwa ia dan Revan sedang bermusuhan, wajah Vania langsung berubah 180o . dari wajah yang kebingungan menjadi wajah yang sedih.
“ Nggak nulis hal yang jelek tentang aku ?, kok kayaknya itu nggak mungkin ya !” Ujar Vania sembari melipat kedua tangannya ke depan dada. Revan memandang Vania bingung, apa yang di katakana gadis ini ?.
“ Kalo kamu nggak nulis hal yang buruk tentang aku, Vannesa ketua fansclub kamu itu nggak mungkin menemuiku sambil marah marah !” Ujar Vania sambil tetap tidak melihat ke arah Revan.
“ Ja..jadi Vannesa ngelabrak kamu, kok kamu nggak pernah cerita sama aku ?” Tanya Revan terkejut. Vania mendengus kesal, ia heran dengan pertanyaan anak ini, sudah jelas jelas yang menyebabkan Vannesa marah adalah artikel yang Revan buat sendiri, masih tanya kenapa ia tidak menceritakan hal itu.
“ Aku bener bener nggak nulis hal yang buruk tentang kamu, emangnya kamu nggak baca artikel itu ?” Tanya Revan. Vania menggelengkan kepalanya. Revan menghela nafas panjang, Ia sudah menduga hal ini. Ia berjalan menuju sudut ruangan itu, ia mengorak arik tumpukan kertas yang ada di sana, dan mengambil sebuah majalah, majalah sekolah.
“ Nih, aku inget ada satu majalah yang di tinggalkan bu Sarah di sini waktu itu.” Ujar Revan sambil mengangsurkan majalah itu pada Vania. “ Kamu buka halaman 12 dan kamu baca sendiri artikel yang aku buat itu.” Lanjut Revan.
Vania segera membuka majalah itu tepat di halaman 12, ia membaca tulisan yang ada di sana dengan hati hati. Beberapa paragraph sudah ia baca dan setiap kalimat yang ia baca semakin membuat Vania tercekat, yang di tulis oleh Revan adalah biografi dan semua prestasi yang ia raih selama ia sekolah di SMA Airlangga ini. Kalimat terakhir yang ia baca membuatnya terpaksa meneteskan air mata.
‘ Vania bukan hanya gadis yang pandai dalam olahraga, hingga ia mendapat julukan  RATU LAPANGAN di sekolah, ia juga sahabat yang sangat baik, sulit mencari sahabat seperti dia, sempat aku berfikir untuk membuat hubungan ini lebih dari sekedar sahabat, namun jika hubungan ini lebih dari sahabat, tidak akan ada sahabat yang bisa ku banggakan, tidak akan ada sahabat yang menjengkelkan, tidak ada sehabat yang akan mengingatkanku untuk selalu belajar, tidak ada sahabat yang mengomeliku habis-habisan jika aku membuat kesalahan dan mungkin akan ada perpisahan jika aku memulai hubungan itu, karena dengan menjadi sahabatnya tidak akan ada kata pisah diantara kami, dan aku berharap persahabatan ini tidak akan pernah berakhir, bahkan hingga akhir nafas ini.’  Setelah membaca paragraph terakhir itu Vania menundukkan kepalanya, air mata mengalir tanpa bisa dicegah.
“ Rev, maafin aku, harusnya aku… aku….” Vania tidak bisa melanjutkan kata katanya ia terus terisak. Revan mendekati Vania perlahan, lalu memeluknya.
“ Kamu nggak perlu minta maaf, aku tau Vannesa itu orangnya kayak gimana, dia memang sudah menyukaiku sejak lama, jadi mungkin kalimat terakhir itu yang membuatnya marah dan melabrakmu, aku minta maaf.” Ujar Revan sambil mempererat pelukannya. Revan yang sedari tadi menahan air matanya, tak bisa lagi menahannya, keduanya menangis dalam diam. Cukup lama.
Revan melepas pelukannya, ia memandang Vania yang masih terisak. Vania mengusap kedua matanya.
“ Udah jangan nangis,  dasar cengeng.” Ujar Revan dengan nada menggoda
“ Apaan sih.” Ujar Vania sambil memukul pelan lengan Revan. “ Maafin aku ya, harusnya aku baca dulu artikel kamu, gara-gara aku teledor, kita jadi musuhan lama banget.” Lanjut Vania yang sudah berhenti terisak. Revan menepuk dahi Vania dan tersenyum.
 


“ Jadi kacang lagi deh.” Ujar Sera kesal. Memang sejak keluar dari gerbang sekolah, Revan dan Vania terus bercanda tanpa mempedulikan Sera yang ada di sebelah mereka.
“ Jangan ngambek gitu dong Ser, aku kan juga pengen ngobrol sama Vania!” Ujar Revan dengan nada menggoda
“ Iya, tau deh yang baru baikan, kenapa nggak sekalian aja kalian pacaran.” Cetus Sera tanpa tampang bersalah sedikit pun. Revan dan Vania serempak menoleh ke arah Sera, wajah keduanya bersemu merah karena malu. Sera yang menyadari hal itu langsung berbelok menuju blok C. “ da, entar malah jadi obat nyamuk lagi.” Ujarnya sambil berlari. “ Anak itu !!!” Ujar Vania geram
Persimpangan jalan di dekat sungai, tempat Revan dan Vania pertama kali bertemu.    Revan turun ke tepian sungai, Vania tampak heran melihat temannya itu tiba tiba turun ke tepian sungai, wajah Revan tampak tenang dan damai, ia mengambil nafas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan.
“ Kamu ngapain sih ?” Tanya Vania heran, Revan membalikkan badannya, ia menarik Vania ke tepian sungai. “ Masih ingat tempat ini ?” Tanya Revan ringan, Vania menganggukkan kepalanya, dan saat semburat cahaya jingga berada di ufuk barat, ia baru tahu apa yang di rasakan Revan saat ini, perasaan tenang dan damai, perasaan yang selama ini mungkin sudah ia lupakan, Vania memandang ke arah Revan, pandangannya masih lurus menatap indahnya senja,
“ Revan, aku mau Tanya sesuatu deh, kenapa semua tulisan kamu yang ada di majalah sekolah edisi itu nggak ada judulnya ?” Tanya Vania
“ Menurut kamu kenapa ?”
“ Lah kok jadi balik nanya sih, ya mana aku tau.” Ujar Vania kesal
“ Hmp, kamu lucu tau nggak kalo lagi ngambek gitu. Iya,iya aku jawab. Tulisanku emang sengaja nggak aku kasih judul, selain takut nggak sinkron sama isi nya aku juga berpikir apa gunanya judul.” Jelas Revan sembari menurunkan badannya ke tanah. Duduk.
“ Ya kan bisa, kamu kasih judul kayak “BIOGRAFI VANIA YANG CANTIK” hehehe.” Ujar Vania dengan nada menggoda. Revan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya,
“Nggak bisa kayak gitu dong, untuk ku judul nggak begitu penting, karena isi dari tulisan itulah yang penting, sama kayak kehidupan, apa kamu pernah memikirkan untuk memberi sebuah kehidupan itu judul ?, kalau pun ada pasti judul itu akan berubah sesuai dengan apa yang kita alami selama kita hidup, makanya untuk saat ini, saat tulisan ku belum bisa di bilang bagus aku nggak mau ngasih judul, mungkin nanti kalau aku udah jadi penulis yang hebat” Vania terkesan dengan apa yang keluar dari mulut Revan, tapi apa yang keluar dari mulut Revan memang selalu terdengar indah. Sama ketika Revan mengatakan “Maaf” padanya berulang kali. Senja yang Indah, bayangan mereka mulai tak terlihat lagi, karena matahari telah kembali ke peraduannya. Tapi keduanya masih ingin terus berada di sini, di tempat mereka bertemu, dan dipertemukan kembali.


 Belum Ada Judul
Gadis itu berjalan gontai menuju kelas paling ujung di salah satu koridor sebuah sekolah ternama di kota itu. Kelas paling ujung itu adalah kelas 12 IPA 3, Ia  tampak enggan melangkahkan kakinya menuju kelas tersebut, sejenak ia menghela nafas panjang lalu membuka pintu kelas tersebut. Belum selangkah ia  masuk ke dalam kelas ‘Brugh!!’. Seseorang menabraknya, hingga Ia jatuh terduduk, seorang anak laki-laki bertubuh tinggi, berambut cepak, serta mata coklat yang terlihat dingin. Anak laki laki itu mengulurkan tangannya pada gadis itu, bermaksud untuk membantunya bangun. Namun uluran tangannya langsung ditepis oleh gadis itu. Gadis itu segera bangkit dari duduknya, wajahnya sudah mulai memerah karena malu.
   “Nggak usah sok bantuin aku!” Ujar gadis itu ketus, anak laki laki itu hanya tersenyum pada gadis itu.
“Nggak usah senyum senyum deh, Aku bilangin sama kamu ya, lain kali kalau jalan pake mata!” bentak gadis itu
“ Vania, Vania. Kamu belajar bego dimana sih ?, dari dulu yang namanya jalan ya pake kaki, bukannya pake mata, mata tuh buat lihat jalannya.”  Ujar anak laki laki itu dengan nada mengejek.
“ Ya ya ya, aku kan belajar bego dari kamu !”  Ujar gadis itu tak mau kalah.
“ Kalo gitu, kayaknya kamu harus belajar lebih giat lagi, muridku tersayang !.”  Ucap anak itu sambil menepuk dahi Vania. Vania hanya diam, ia tak bisa membalas kata katanya lagi. Anak itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan Vania dengan wajah merah penuh amarah.
“REVAAAAAAN………………!!!!!”
   Yup, nama anak laki laki tadi adalah Revan, Ia adalah ketua kelas 12 IPA 3, Ia adalah siswa yang aktif di organisasi, seperti OSIS, PMR, PRAMUKA, dan lain sebagainya, Ia juga sering di minta untuk menjadi panitia pada even-even di sekolah, dan bukan cuma itu saja, Ia memiliki segudang prestasi akademik, seperti juara 2 OLYMPIADE SAINS tingkat provinsi, juara harapan 1 dalam KARYA ILMIAH REMAJA tingkat kota, dan masih banyak lagi.  Sedangkan gadis itu adalah Vania, Ia memang tidak se-pandai Revan, tapi kalau masalah olahraga Ia jagonya, tahun ini Ia di tunjuk untuk menjadi ketua tim Basket putri di sekolahnya, sebelumnya Ia juga pernah menjabat sebagai wakil ketua tim Soft Ball SMA Airlangga ini ( oh ya sampai lupa, nama sekolah tempat mereka belajar ini adalah SMA Airlangga, keren kan ?! hehehe ^_^). Vania berkali-kali mengikuti kejuaraan nasional, dan walaupun bukan juara satu, tapi setidak-nya Ia dan timnya selalu bisa membawa piala untuk SMA Airlangga. 2 kepribadian yang berbeda ini awalnya di pertemukan dengan status sahabat, mereka berdua sudah menjadi sahabat sejak kelas 4 SD, namun karena sebuah kesalahpahaman, mereka pun berubah, dari sahabat yang amat dekat, menjadi musuh abadi yang mungkin akan kekal.
   “ Brak !!!!” Vania melemparkan tas nya yang penuh buku itu tepat di mejanya, sontak itu membuat Sera sahabat sekaligus teman sebangkunya hampir melompat dari kursi tempatnya duduk.
   “Apaan sih Van, ini masih pagi tau !!” seloroh Sera.
   “ Ya, Aku juga tau ini masih pagi, dan kenapa ada aja orang yang cari gara gara sama Aku, padahal dia tahu ini masih pagi !!” Ujar Vania bersungut sungut.
   “ Biar Aku tebak,.. Revan, kan ?!” Tebak Sera pada Vania yang entah sejak kapan sudah ada di sampingnya.
Vania menghela nafas panjang, kemudian menganggukkan kepala-nya. Ia menundukkan kepalanya hingga menyentuh meja di depannya, dan lagi-lagi Vania menghela nafas panjang, kini raut wajahnya terlihat sedih, Sera yang memang tak pernah melihat sahabatnya sedih itu langsung kebingungan.
   “ Van, ?” Tanya Sera pada Vania yang masih menundukkan kepalanya.Vania mengembalikan posisinya seperti semula dan dengan senyum lebar Ia berkata “ Nggak papa kok.” Walau dengan suara yang sedikit tertahan.
 

Bel tanda istirahat telah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar kelas. Kantin jadi penuh sesak dengan anak anak yang kelaparan, Perpustakaan yang tadinya sepi, juga ramai di serbu para kutu buku, Masjid penuh dengan siswa yang mengejar target sholatnya, lapangan juga ramai dipenuhi siswa laki laki yang bermain sepak bola. Tapi bukan berarti kelas menjadi sepi, tetap saja ramai, dengan para gadis yang ceriwisnya minta ampun.
   Di sudut kelas, Vania yang bukan tipe anak yang suka membicarakan orang lain, atau membanggakan harta orangtuanya itu memilih untuk duduk di sudut kelas, di dekat galon air, dan rak buku, Ia duduk di sebuah kursi marmer yang memang disediakan sekolah untuk setiap kelas. Sejak bel berbunyi, Ia sudah berada di sana, sedari tadi Vania terus memandang kearah langit, Ia berpikir andai Ia terlahir sebagai seekor burung, mungkin Ia tak perlu menghadapi masalahnya saat ini, masalah yang seakan tidak ada akhirnya. Ya , bisa di bilang kesalahpahaman antara Vania dan Revan cukup rumit, masalahnya berawal dari Revan yang bergabung dengan club majalah sekolah, Ia banyak menulis artikel untuk majalah sekolah, Ia juga memiliki banyak penggemar karena tulisannya. Tapi itu bukan jadi penghalang untuk persahabatan Vania dan Revan, Namun setelah Revan menulis artikel tentang Vania, semuanya berubah. Vania menjadi sangat marah pada Revan, padahal Vania sendiri belum membaca artikel itu, yang ada di pikirannya, Revan pasti menulis hal  jelek tentangnya, karena setelah majalah itu terbit, banyak siswi penggemar Revan yang membencinya, dan bahkan ada yang sampai melabraknya. Vania menghela nafas panjang, matanya menerawang jauh saat dimana ia dan Revan masih baik-baik saja.
   “ Wooiii.., ada orangnya nggak sih ?” Ujar Sera sambil mengetuk dahi Vania seperti mengetuk pintu rumahnya sendiri.
   “ Apaan sih Ser, sakit tau !” Gerutu Vania, tersadar dari lamunannya.
   “ Ya, abis-nya dari tadi Aku di kacangin sih,” Ujar Sera dengan wajah cemberut
   “ Eh, masa’ sih ?”
   “ Hhhh,… ya ampun non, dari tadi tuh kamu ngelamun aja, sampe nggak tau kalau ada aku di sini” Ujar Sera masih dengan wajah cemberutnya.
Baru saja Vania akan membuka mulutnya ketika Revan datang dengan diikuti banyak anak lain di belakangnya, seperti biasa ada pengumuman yang harus Ia sampaikan.
   “ Oke, temen-temen, Aku baru dapet informasi dari Bu Fahma, kalau 1 minggu lagi akan diadakan lomba sastra untuk memperingati BULAN BAHASA, so, kita harus persiapin ini dengan sebaik mungkin, tahun lalu kakak kelas 12 IPA 3 berhasil menyabet 4 juara pertama, jadi tahun ini kita harus bisa merebut semuanya !” Ujar Revan dengan lantang
   “ Emangnya, sekarang kita mau pilih siapa yang akan mewakili kelas kita untuk lomba itu?” Tanya Vania. Ada sedikit nada kesal pada kata katanya itu.
   “ Oh, bukan sekarang, tapi nanti pulang sekolah, jadi sepulang sekolah nanti jangan ada yang pulang dulu ya !” Pinta Revan pada teman-temannya.
   Setelah pengumuman selesai, semua siswa 12 IPA 3 kembali ke kegiatannya masing-masing. Tapi tidak dengan Revan, Ia menghampiri Vania yang melanjutkan kegiatan melamunnya di sudut kelas, awalnya Revan tampak ragu, namun Ia mencoba untuk tidak ragu lagi, karena yang di hadapinya hanyalah Vania, sahabatnya_setidaknya sebelum kesalahpahaman itu terjadi_
   “ Van, aku mau ngomong  sama kamu.” Ujar Revan.
Vania menengadahkan kepalanya, Ia bertemu muka dengan Revan. Wajahnya sempat memerah karena malu, namun itu Ia tutupi dengan nada bicara yang cukup keras.
   “ Ngomong aja  !” Ujar Vania masih dengan nada yang sama saat Ia berbicara pada Revan tadi.
   “ Uhm, masalah 1 tahun lalu itu……”
Vania tercekat mendengar kata “Masalah 1 tahun lalu” keluar dari mulut Revan, Ia segera bangkit dari tempat duduknya
   “ Kalau soal itu, jangan dibahas sekarang !” Ujar Vania, kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Revan di sudut kelas.
 

   Pukul 14.30, saat yang paling di tunggu semua siswa SMA Airlangga , pulang. Tapi kelas 12 IPA 3 masih sibuk mengurusi siapa yang akan mewakili kelas mereka pada even BULAN BAHASA itu. Kelas yang satu ini memang sangat ambisius untuk menyandang gelar juara UMUM pada even ini. Semuanya berdebat ingin ikut ini lah, ikut itu lah (Lalalala :p), sampai akhirnya, hamper semua lomba telah terisi, hanya tersisa lomba membaca puisi,
   “ Guyss, tinggal satu lagi, apa ada yang mau ngisi ?” Tanya Revan pada teman temannya
   “ Kan tinggal 2 orang, kita suruh aja mereka berdua,” Usul Daffa teman sebangku Revan
Semua anak  melihat kearah Vania dan Ratna secara bergantian. Vania yang merasa risih karena dilihat seluruh kelas pun, akhirnya angkat bicara,
   “ Rev, kamu tau kan kalau aku sama sekali nggak suka sama sastra, jadi jangan ikut-in aku buat acara yang kayak begini.” Ujar Vania
   “ Lho, ya nggak bisa gitu dong Van, kita semua udah terdaftar dalam perlombaan itu, kan nggak adil, kalau cuma kamu yang nggak terdaftar !” Sergah Daffa
   “ Kalau Aku bilang nggak mau, ya nggak mau !!” Bentak Vania pada Daffa, yang memang saat itu ada di depannya.
   “ Weitss, udah udah, kalau dia nggak mau jangan di paksa.” Ujar Revan menengahi mereka. “Gini aja deh, Ratna kamu ya yang ikut lomba puisi itu, dan Kamu Van, kamu cadangan,” Lanjut Revan. Ratna menganggukkan kepalanya, sementara Vania tidak terima dengan keputusan Revan,
  “Nggak,nggak,nggak. Apaan jadi cadangan segala, nggak ah !” Ujar Vania
  “ Ini udah jadi keputusanku, lagi pula kan kamu cuma jadi cadangan, yang nantinya maju untuk lomba juga Ratna kan ?” Tanya Revan dengan nada serius, nada bicara seperti inilah yang selalu membuat Vania tak bisa membantah perkataan Revan.
  “ Okelah, terserah kamu aja.” Ujar Vania sedikit kesal.
  Setelah perdebatan itu selesai, semua siswa 12 IPA 3 meninggalkan kelas, dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Tak terkecuali Vania dan Revan. Rumah mereka berdua memang berdekatan, jadi tak jarang mereka pulang bersama. Dulu, ketika hubungan persahabatan mereka masih baik baik saja, selalu ada senda gurauan di antara mereka, saat menelusuri jalan kompleks perumahan yang sepi itu, namun semenjak kesalahpahaman itu, setiap kali pulang bersama (secara tidak sengaja tentu saja), jalan kompleks yang sudah sepi, menjadi semakin sepi tanpa ada suara di antara mereka. Walaupun sebenarnya, Vania selalu menghindari pulang bersama dengan Revan.
  Vania berjalan sendirian, Sera yang kebetulan tinggal di perumahan yang sama, sudah berbelok arah menuju blok C, sementara Vania harus terus berjalan menuju rumahnya yang berada di blok E. Saat memasuki kawasan blok D, ada suara yang memanggilnya, sejenak Vania berfikir bahwa yang memanggilnya bukanlah manusia, namun pemikiran tersebut hilang, setelah Revan muncul disampingnya.
  “ Lho he, kok kamu ada disini sih ?”  Tanya Vania heran
  “ Lho he, kamu itu gimana sih, rumahku kan juga ada di blok E, jadi nggak salah dong kalau aku ada di sini.” Ujar Revan menirukan gimik Vania, jalan menuju blok E memang  hanya ada satu ini.
  “ Apaan sih, nggak usah ikut ikutan lho he lho he, deh !” Ujar Vania kesal
  “ Ya udah, ya udah, kalau gitu he lho,he lho aja gimana ??”  Ujar Revan dengan nada menggoda. Vania tertawa mendengar perkataan Revan. Hal inilah yang selalu di rindukan Revan, senyum dan tawa bahagia dari sahabatnya, indah rasanya bisa melihat Vania tertawa seperti ini lagi. Revan terus memandangi Vania, Vania yang sadar jika Ia sedang diperhatikan menghentikan tawanya.
  “ Woi !!, keluar tuh mata nanti, merhatiin aku sampai segitunya.” Ujar Vania, Revan tampak terkejut, dan menjadi salah tingkah
  “ Nggak, lagi pula siapa juga yang memperhatikan kamu.” Ujar Revan gelagapan.
  “Revan, Revan, aku tuh tahu semua kelakuan kamu, kita kan udah sahabatan lama banget.”
Revan terkejut mendengar perkataan Vania tadi, Vania yang menyadari apa yang keluar dari mulutnya juga terkejut. Sejenak suasana kembali sepi, keduanya tak bisa mengeluarkan kata-kata.
  “ Sahabat ?” Tanya Revan kemudian, ” Kamu masih menganggap Aku sahabat ?.” lanjut Revan dengan suara yang sedikit tertahan. Vania tak bisa berkata apa apa, kedua mata nya sudah mulai berair, wajah nya juga sudah mulai memerah. Hari semakin sore, langit sudah menunjukkan guratan merah, tapi Vania belum juga menjawab pertanyaan Revan.
  “Nggak…” Lirih Vania “Aku nggak akan pernah anggap kamu sebagai sahabat lagi” air mata sudah berada di  pelupuk matanya sekarang.
  “ Tapi kenapa Van, apa salah ku, sampai kamu marah banget sama aku, apa?” Tanya Revan Lagi.
  “ Kamu nggak usah pura pura bego, aku yakin kamu tau apa kesalahanmu. Inget baik baik ya Rev, aku sama sekali nggak mau berteman apalagi bersahabat sama seorang pengkhianat kayak kamu, ngerti kamu !!” Ujar Vania dengan nada tinggi. Air mata sudah berada di pelupuk mata Vania, Vania segera pergi meninggalkan Revan sendiri. Revan tak tahu lagi harus berbuat apa, apa yang harus Ia lakukan agar Vania mau memaafkannya, dan kembali menjadi sahabatnya.
 
  Satu minggu telah berlalu, semua persiapan yang dilakukan oleh kelas 12 IPA 3 telah sempurna, dan sekarang adalah saat yang telah di tunggu tunggu, hari di mana mereka akan menunjukkan yang terbaik dari kelas mereka. Aula disulap menjadi sebuah tempat yang megah. Panggung lengkap dengan dekorasi yang indah, sound sistem super mewah, dan segala hal yang menyenangkan telah tersedia disana (tapi bukan seperti taman bermain).
   Pukul 07.00 tepat, seluruh siswa SMA Airlangga berkumpul di Aula untuk pembukaan acara, setelah itu perlombaan dimulai. Aula menjadi penuh dengan para siswa, baik peserta atau para supporter memenuhi aula, ada juga yang bergerombol di depan beberapa kelas yang digunakan untuk lomba. Mungkin hanya lapangan yang terlihat sepi, walaupun tidak sepenuhnya sepi, Vania ada disana.
Ia memantulkan bola basket kasana kemari, terkadang Ia juga melakukan “JUMP SHOOT”  atau bahkan “THREE POINT”. Yang tidak semua anggota club basket putri bisa melakukannya. Vania berhenti memainkan bola basket itu, Ia mengambil botol air mineral yang ada di tepi lapangan, dan langsung menghabiskannya dengan satu tegukan, Vania duduk di antara pepohonan yang ada di tepi lapangan. Beberapa hari terakhir ini Vania sering sekali menghabiskan waktu istirahatnya di lapangan, entah itu bermain bola basket atau terkadang hanya duduk termenung di bawah pepohonan, persis seperti yang Ia lakukan saat ini. Dan itu Ia lakukan, setelah pertengkarannya dengan Revan minggu lalu.
   Sementara itu di aula, siswa kelas 12 IPA 3 kebingungan karena tiba tiba Ratna, perwakilan lomba baca puisi terkena Typhus dan harus dirawat di rumah sakit.
   “ Ya terus sekarang kita mesti gimana dong ?!” Tanya Sera panik.
   “ Oke , Kamu tenang dulu dong Ser. Jangan panik.” Ujar Revan berusaha menenang kan temannya yang satu itu.
   “ Rev, bukannya kamu nyuruh Vania buat jadi cadangan ya, kenapa kita nggak minta dia aja buat gantiin Ratna” Usul Daffa.
   “ Caranya ?, ayolah dulu aja waktu aku minta dia jadi cadangan susahnya minta ampun, apalagi sekarang disuruh buat mewakili kelas.” Ujar Revan
   “ Ya, kamu kan ketua kelas, gimana caranya kamu bisa bujuk dia supaya mau, lagi pula yang namanya cadangan itu dibuat, supaya kalau ada apa apa sama tim inti ada yang bisa menggantikan.” Ujar Daffa  
   “ Ya, oke, oke, aku akan bujuk dia, tapi aku nggak janji dia mau.” Ujar Revan kemudian pergi menemui Vania. Tidak sulit untuk menemukan Vania, Revan sudah tahu di mana Vania sekarang. Vania masih duduk dengan membenamkan wajahnya pada kedua kakinya yang ditekuk hingga ke dada, saat Revan berada di sampingnya. Vania menyadari bahwa ada seseorang di dekatnya saat ini, Ia mengangkat wajahnya dan melihat Revan. Vania langsung membuang pandangannya ke tengah lapangan.
   “ Mau apa kamu ke sini ?” Tanya Vania dengan tetap memandang ke tengah lapangan.
   “ Anak anak minta supaya kamu mau menggantikan Ratna di perlombaan baca puisi.” Jawab Revan  singkat.
   “ Nggak nggak nggak, kan aku udah pernah bilang kalau aku nggak akan pernah mau ikut acara seperti ini, nggak ah !” Ujar Vania  sedikit kesal.
   “ Kalau ini karena pertengkaran kita, tolong lupakan semua itu, aku mohon jangan sangkut pautkan hal itu dengan ini, kamu lakukan ini demi kelas, kamu nggak mau ngelakuin ini demi kelas ?” Ujar Revan tegas.
   “Ya, ya terus aku harus pake baju kayak gini ?” Ujar Vania mengelak. Saat itu Ia memang hanya mengenakan pakaian sederhana (celana jins ¾, kaos oblong berwarna biru laut, dan sepatu cats putih).
   “ Kalau kamu mau, kamu bisa pinjam gaun milikku.” Ujar seorang gadis yang sepertinya sudah ada di belakang mereka sejak tadi. Terra, murid pindahan dari Surabaya. Dia baru masuk sekitar 3 hari yang lalu, jadi dia tidak ambil bagian dalam even kali ini.
   “ Gaun kamu, maksudnya ?” Tanya Vania heran.
   “ Rumahku tidak jauh dari sini, dan aku rasa mungkin tidak akan sempat jika kamu harus pulang dulu, kebetulan juga aku punya banyak sekali gaun yang bisa kamu kenakan.” Ujar Terra. Revan langsung menyetujui hal itu, dengan susah payah Vania dibawa ke rumah Terra yang hanya sepelempar batu dari sekolah. Sampai di sana Vania masih saja membuat ulah, yang katanya gaunnya nggak cocok lah, make up nya terlalu tebal lah, dan lain sebagainya.
   Setelah 15 menit di “otak atik” oleh Terra, mereka kembali ke sekolah, saat melintasi lapangan Vania terus menundukkan kepalanya. Beberapa anggota club basket sedang bekumpul disana, ‘ngapain sih anak anak pake kumpul di situ segala!’ gerutu Vania dalam hati
   “ Hei, bukannya itu ‘Ratu Lapangan’ ?” Teriak seorang siswa, serentak seluruh siswa yang sedang ada di lapangan itu mengalihkan pandangan mereka ke arah Vania. Mereka seperti melihat seorang bidadari yang baru turun dari atas genteng, tak berkutik sama sekali. Vania memang terlihat berbeda, ia sangat cantik dengan dress berwarna ungu muda setinggi lutut, Sepatu ber-hak tinggi sekitar 5 cm, rambut yang biasa di kuncir kuda kini digerai dengan pita merah jambu yang menghiasi kepalanya. Make-up yang ia pakai juga tidak berlebihan, sangat serasi dengan gaun yang ia kenakan.
   “ Wah, wah, wah ternyata ratu lapangan kita yang satu ini bisa jadi Cinderella juga ya.” Goda Sera pada Vania yang baru saja memasuki aula.
   “ Apaan sih Ser, Aku jadi kayak gini juga karena kelas kita tau !” Ujar Vania dengan wajah yang tertekuk.
   “ Udah, udah nggak usah ribut, sekarang kan kita udah bisa tenang karena ada yang mewakili kelas kita di perlombaan ini, dan kamu memang terlihat cantik Vania, jadi jangan marah kalau ada orang yang memujimu.” Puji Terra, wajah Vania langsung berubah menjadi merah seperti tomat yang baru saja matang.
   “ Nih.” Ujar Revan sambil mengangsurkan selembar kertas pada Vania “ Itu puisi yang dibuat sama Ratna kemarin, !” lanjut Revan tanpa memandang Vania
   “Ini  yang harus aku baca ?” Tanya Vania yang juga tidak memandang Revan.
   “ Hmm..” jawab Revan singkat, kemudian meninggalkan aula.
Satu demi satu peserta menampilkan bakat membaca puisi yang menakjubkan dengan berbagai tema, ada yang menggunakan alat peraga, ada yang menggunakan alunan music, dan lain sebagainya. Vania merasa gugup, karena ini pertama kalinya ia harus tampil di depan umum sendirian, karena biasanya ia tampil beregu dengan tim basket atau tim softball-nya, dan kali ini tanpa persiapan pula. Berkali kali Vania pergi ke kamar mandi, dan tak jarang ia menggigiti ibu jarinya. Gugup katanya.
Kini saat yang sudah di tunggu siswa 12 IPA 3, Vania naik ke atas panggung, kedua kakinya gemetar, keringat dingin mulai bercucuran, Vania mulai membacakan puisi yang di buat Ratna dengan sangat indah, para guru yang menjadi juri tidak percaya bahwa gadis yang di juluki RATU LAPANGAN ini bisa membawakan puisi dengan begitu indah. Puisi berjudul “SAHABAT” itu berhasil membuat seisi aula merinding. Semua larut dalam untaian kata yang di ucapkan Vania, ekspresi serta gesture tubuhnya membuat puisi yang ia bawakan semakin indah. Tak ada yang percaya bahwa Vania bisa membawakan puisi seindah itu. Revan yang sedang bersandar di pintu aula tersenyum kecil, seakan ia sudah tahu bahwa Vania memang akan membawakan puisi itu dengan indah. Puisi selesai dibacakan seisi ruangan bangkit dan bertepuk tangan. Vania yang masih gemetar segera turun dari atas panggung. Di belakang panggung, teman teman Vania menyambutnya dengan gembira. Sera bahkan memeluk sahabatnya itu dengan erat.
“Tuh kan, aku bilang juga apa, kamu pasti bisa kok !” ujar Sera bangga.
“ Iya,iya percaya deh.”  Ujar Vania sambil tersenyum.
Revan hanya bisa melihat kegembiraan itu dari kejauhan. Ia tak ingin kebahagiaan teman temannya itu hancur hanya karena kehadirannya. Vania tampak sangat bahagia, ia terus saja tersenyum. Tanpa tahu bahwa ia sedang diperhatikan.
“ Kalau dia emang sahabat kamu, seharusnya kamu ke sana dong, bukannya ngumpet di sini !”
Revan terperanjat saat tahu siapa yang ada di belakangnya saat itu.
“ Daffa, ngagetin aja !” Ujar Revan masih dengan wajah terkejutnya.
“ Kalau kamu tetap di sini, kamu nggak akan pernah jadi sahabat nya lagi.” Ujar Daffa dengan nada bijak yang sering ia gunakan untuk menasehati teman temannya.
“ Kamu nggak tahu masalahnya Daf, ini tuh….ini…”  Revan terlihat sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di otaknya saat ini.
“ Rev, aku kasih tahu ya, kalau Vania itu emang bener-bener sahabatmu, dia akan maafin kamu apapun alasan kamu nantinya.” Ujar Daffa sambil melipat kedua tangannya ke depan dada.
Apa benar Vania akan memaafkannya semudah itu, apa yang di katakana Daffa itu benar, apa bisa……. Revan mengembalikan perhatiannya pada Vania, gadis itu masih terus bercanda dengan bersama anak anak lainnya. Revan tak tahu apa yang harus ia lakukan saat itu, ia menundukkan kepalanya, raut wajahnya berubah seketika, lama ia larut dalam kenangan nya bersama Vania. Saat ia mengangkat kepalanya, Vania sudah ada di hadapannya. Revan hampir meloncat karena terkejut.
“ Kenapa terkejut seperti itu ?” Ujar Vania
“ Kenapa kamu….., bukannya tadi kamu….”
“ Ya, tadi Daffa bilang kamu mau bicara sama aku, bicara apa ?” Tanya Vania
“ Bicara ?, nggak, siapa yang mau ngajak kamu bicara.” Ujar Revan sambil terus melihat Daffa yang sudah bersama teman temannya. Vania tampak kecewa dengan jawaban Revan.
“ Ya udahlah kalau emang kamu nggak mau bicara, aku balik aja deh !” Ujar Vania sambil membalikkan badannya. Revan menahannya dengan menarik lengan Vania
“ Tunggu sebentar, iya sih ada yang mau aku bicarakan sama kamu.” Ujar Revan “ tapi nggak di sini.”
Vania mengerutkan dahinya, ia bingung dengan apa yang sedang di lakukan Revan, sejak mereka tiba di lab Bahasa, ia hanya diam dan mondar mandir tidak jelas. Vania baru saja akan membuka pintu saat Revan menarik tangannya.
“ Tunggu, aku  minta maaf .” Ujar Revan. Vania menutup kembali pintu yang sudah setengah terbuka itu. Ia memandang Revan heran, untuk apa ia meminta maaf, pikirnya.
“ Aku tau kamu marah sama aku karena artikel yang aku buat di majalah sekolah setahun yang lalu itu kan, tapi kenapa, aku nggak nulis hal hal jelek tentang kamu di artikel itu.” Ujar Revan dengan suara yang mulai parau. Saat itu Vania ingat bahwa ia dan Revan sedang bermusuhan, wajah Vania langsung berubah 180o . dari wajah yang kebingungan menjadi wajah yang sedih.
“ Nggak nulis hal yang jelek tentang aku ?, kok kayaknya itu nggak mungkin ya !” Ujar Vania sembari melipat kedua tangannya ke depan dada. Revan memandang Vania bingung, apa yang di katakana gadis ini ?.
“ Kalo kamu nggak nulis hal yang buruk tentang aku, Vannesa ketua fansclub kamu itu nggak mungkin menemuiku sambil marah marah !” Ujar Vania sambil tetap tidak melihat ke arah Revan.
“ Ja..jadi Vannesa ngelabrak kamu, kok kamu nggak pernah cerita sama aku ?” Tanya Revan terkejut. Vania mendengus kesal, ia heran dengan pertanyaan anak ini, sudah jelas jelas yang menyebabkan Vannesa marah adalah artikel yang Revan buat sendiri, masih tanya kenapa ia tidak menceritakan hal itu.
“ Aku bener bener nggak nulis hal yang buruk tentang kamu, emangnya kamu nggak baca artikel itu ?” Tanya Revan. Vania menggelengkan kepalanya. Revan menghela nafas panjang, Ia sudah menduga hal ini. Ia berjalan menuju sudut ruangan itu, ia mengorak arik tumpukan kertas yang ada di sana, dan mengambil sebuah majalah, majalah sekolah.
“ Nih, aku inget ada satu majalah yang di tinggalkan bu Sarah di sini waktu itu.” Ujar Revan sambil mengangsurkan majalah itu pada Vania. “ Kamu buka halaman 12 dan kamu baca sendiri artikel yang aku buat itu.” Lanjut Revan.
Vania segera membuka majalah itu tepat di halaman 12, ia membaca tulisan yang ada di sana dengan hati hati. Beberapa paragraph sudah ia baca dan setiap kalimat yang ia baca semakin membuat Vania tercekat, yang di tulis oleh Revan adalah biografi dan semua prestasi yang ia raih selama ia sekolah di SMA Airlangga ini. Kalimat terakhir yang ia baca membuatnya terpaksa meneteskan air mata.
‘ Vania bukan hanya gadis yang pandai dalam olahraga, hingga ia mendapat julukan  RATU LAPANGAN di sekolah, ia juga sahabat yang sangat baik, sulit mencari sahabat seperti dia, sempat aku berfikir untuk membuat hubungan ini lebih dari sekedar sahabat, namun jika hubungan ini lebih dari sahabat, tidak akan ada sahabat yang bisa ku banggakan, tidak akan ada sahabat yang menjengkelkan, tidak ada sehabat yang akan mengingatkanku untuk selalu belajar, tidak ada sahabat yang mengomeliku habis-habisan jika aku membuat kesalahan dan mungkin akan ada perpisahan jika aku memulai hubungan itu, karena dengan menjadi sahabatnya tidak akan ada kata pisah diantara kami, dan aku berharap persahabatan ini tidak akan pernah berakhir, bahkan hingga akhir nafas ini.’  Setelah membaca paragraph terakhir itu Vania menundukkan kepalanya, air mata mengalir tanpa bisa dicegah.
“ Rev, maafin aku, harusnya aku… aku….” Vania tidak bisa melanjutkan kata katanya ia terus terisak. Revan mendekati Vania perlahan, lalu memeluknya.
“ Kamu nggak perlu minta maaf, aku tau Vannesa itu orangnya kayak gimana, dia memang sudah menyukaiku sejak lama, jadi mungkin kalimat terakhir itu yang membuatnya marah dan melabrakmu, aku minta maaf.” Ujar Revan sambil mempererat pelukannya. Revan yang sedari tadi menahan air matanya, tak bisa lagi menahannya, keduanya menangis dalam diam. Cukup lama.
Revan melepas pelukannya, ia memandang Vania yang masih terisak. Vania mengusap kedua matanya.
“ Udah jangan nangis,  dasar cengeng.” Ujar Revan dengan nada menggoda
“ Apaan sih.” Ujar Vania sambil memukul pelan lengan Revan. “ Maafin aku ya, harusnya aku baca dulu artikel kamu, gara-gara aku teledor, kita jadi musuhan lama banget.” Lanjut Vania yang sudah berhenti terisak. Revan menepuk dahi Vania dan tersenyum.
 

“ Jadi kacang lagi deh.” Ujar Sera kesal. Memang sejak keluar dari gerbang sekolah, Revan dan Vania terus bercanda tanpa mempedulikan Sera yang ada di sebelah mereka.
“ Jangan ngambek gitu dong Ser, aku kan juga pengen ngobrol sama Vania!” Ujar Revan dengan nada menggoda
“ Iya, tau deh yang baru baikan, kenapa nggak sekalian aja kalian pacaran.” Cetus Sera tanpa tampang bersalah sedikit pun. Revan dan Vania serempak menoleh ke arah Sera, wajah keduanya bersemu merah karena malu. Sera yang menyadari hal itu langsung berbelok menuju blok C. “ da, entar malah jadi obat nyamuk lagi.” Ujarnya sambil berlari. “ Anak itu !!!” Ujar Vania geram
Persimpangan jalan di dekat sungai, tempat Revan dan Vania pertama kali bertemu.    Revan turun ke tepian sungai, Vania tampak heran melihat temannya itu tiba tiba turun ke tepian sungai, wajah Revan tampak tenang dan damai, ia mengambil nafas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan.
“ Kamu ngapain sih ?” Tanya Vania heran, Revan membalikkan badannya, ia menarik Vania ke tepian sungai. “ Masih ingat tempat ini ?” Tanya Revan ringan, Vania menganggukkan kepalanya, dan saat semburat cahaya jingga berada di ufuk barat, ia baru tahu apa yang di rasakan Revan saat ini, perasaan tenang dan damai, perasaan yang selama ini mungkin sudah ia lupakan, Vania memandang ke arah Revan, pandangannya masih lurus menatap indahnya senja,
“ Revan, aku mau Tanya sesuatu deh, kenapa semua tulisan kamu yang ada di majalah sekolah edisi itu nggak ada judulnya ?” Tanya Vania
“ Menurut kamu kenapa ?”
“ Lah kok jadi balik nanya sih, ya mana aku tau.” Ujar Vania kesal
“ Hmp, kamu lucu tau nggak kalo lagi ngambek gitu. Iya,iya aku jawab. Tulisanku emang sengaja nggak aku kasih judul, selain takut nggak sinkron sama isi nya aku juga berpikir apa gunanya judul.” Jelas Revan sembari menurunkan badannya ke tanah. Duduk.
“ Ya kan bisa, kamu kasih judul kayak “BIOGRAFI VANIA YANG CANTIK” hehehe.” Ujar Vania dengan nada menggoda. Revan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya,
“Nggak bisa kayak gitu dong, untuk ku judul nggak begitu penting, karena isi dari tulisan itulah yang penting, sama kayak kehidupan, apa kamu pernah memikirkan untuk memberi sebuah kehidupan itu judul ?, kalau pun ada pasti judul itu akan berubah sesuai dengan apa yang kita alami selama kita hidup, makanya untuk saat ini, saat tulisan ku belum bisa di bilang bagus aku nggak mau ngasih judul, mungkin nanti kalau aku udah jadi penulis yang hebat” Vania terkesan dengan apa yang keluar dari mulut Revan, tapi apa yang keluar dari mulut Revan memang selalu terdengar indah. Sama ketika Revan mengatakan “Maaf” padanya berulang kali. Senja yang Indah, bayangan mereka mulai tak terlihat lagi, karena matahari telah kembali ke peraduannya. Tapi keduanya masih ingin terus berada di sini, di tempat mereka bertemu, dan dipertemukan kembali.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar