Belum Ada Judul
Gadis itu berjalan
gontai menuju kelas paling ujung di salah satu koridor sebuah sekolah ternama
di kota itu. Kelas paling ujung itu adalah kelas 12 IPA 3, Ia tampak enggan melangkahkan kakinya menuju
kelas tersebut, sejenak ia menghela nafas panjang lalu membuka pintu kelas
tersebut. Belum selangkah ia masuk ke
dalam kelas ‘Brugh!!’. Seseorang menabraknya, hingga Ia jatuh terduduk, seorang
anak laki-laki bertubuh tinggi, berambut cepak, serta mata coklat yang terlihat
dingin. Anak laki laki itu mengulurkan tangannya pada gadis itu, bermaksud
untuk membantunya bangun. Namun uluran tangannya langsung ditepis oleh gadis
itu. Gadis itu segera bangkit dari duduknya, wajahnya sudah mulai memerah
karena malu.
“Nggak usah sok bantuin aku!” Ujar gadis itu
ketus, anak laki laki itu hanya tersenyum pada gadis itu.
“Nggak usah
senyum senyum deh, Aku bilangin sama kamu ya, lain kali kalau jalan pake mata!”
bentak gadis itu
“ Vania, Vania.
Kamu belajar bego dimana sih ?, dari dulu yang namanya jalan ya pake kaki,
bukannya pake mata, mata tuh buat lihat jalannya.” Ujar anak laki laki itu dengan nada mengejek.
“ Ya ya ya, aku
kan belajar bego dari kamu !” Ujar gadis
itu tak mau kalah.
“ Kalo gitu,
kayaknya kamu harus belajar lebih giat lagi, muridku tersayang !.” Ucap
anak itu sambil menepuk dahi Vania. Vania hanya diam, ia tak bisa membalas kata
katanya lagi. Anak itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan Vania dengan
wajah merah penuh amarah.
“REVAAAAAAN………………!!!!!”
Yup, nama anak laki laki tadi adalah Revan, Ia
adalah ketua kelas 12 IPA 3, Ia adalah siswa yang aktif di organisasi, seperti
OSIS, PMR, PRAMUKA, dan lain sebagainya, Ia juga sering di minta untuk menjadi
panitia pada even-even di sekolah, dan bukan cuma itu saja, Ia memiliki segudang
prestasi akademik, seperti juara 2 OLYMPIADE SAINS tingkat provinsi, juara
harapan 1 dalam KARYA ILMIAH REMAJA tingkat kota, dan masih banyak lagi. Sedangkan gadis itu adalah Vania, Ia memang
tidak se-pandai Revan, tapi kalau masalah olahraga Ia jagonya, tahun ini Ia di
tunjuk untuk menjadi ketua tim Basket putri di sekolahnya, sebelumnya Ia juga
pernah menjabat sebagai wakil ketua tim Soft Ball SMA Airlangga ini ( oh ya
sampai lupa, nama sekolah tempat mereka belajar ini adalah SMA Airlangga, keren
kan ?! hehehe ^_^). Vania berkali-kali mengikuti kejuaraan nasional, dan
walaupun bukan juara satu, tapi setidak-nya Ia dan timnya selalu bisa membawa
piala untuk SMA Airlangga. 2 kepribadian yang berbeda ini awalnya di pertemukan
dengan status sahabat, mereka berdua sudah menjadi sahabat sejak kelas 4 SD,
namun karena sebuah kesalahpahaman, mereka pun berubah, dari sahabat yang amat
dekat, menjadi musuh abadi yang mungkin akan kekal.
“ Brak !!!!” Vania melemparkan tas nya yang
penuh buku itu tepat di mejanya, sontak itu membuat Sera sahabat sekaligus
teman sebangkunya hampir melompat dari kursi tempatnya duduk.
“Apaan sih Van, ini masih pagi tau !!”
seloroh Sera.
“ Ya, Aku juga tau ini masih pagi, dan kenapa
ada aja orang yang cari gara gara sama Aku, padahal dia tahu ini masih pagi !!”
Ujar Vania bersungut sungut.
“ Biar Aku
tebak,.. Revan, kan ?!” Tebak Sera pada Vania yang entah sejak kapan sudah ada
di sampingnya.
Vania menghela
nafas panjang, kemudian menganggukkan kepala-nya. Ia menundukkan kepalanya
hingga menyentuh meja di depannya, dan lagi-lagi Vania menghela nafas panjang,
kini raut wajahnya terlihat sedih, Sera yang memang tak pernah melihat
sahabatnya sedih itu langsung kebingungan.
“ Van, ?” Tanya Sera pada Vania yang masih
menundukkan kepalanya.Vania mengembalikan posisinya seperti semula dan dengan
senyum lebar Ia berkata “ Nggak papa kok.” Walau dengan suara yang sedikit
tertahan.
Bel tanda
istirahat telah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar kelas. Kantin jadi
penuh sesak dengan anak anak yang kelaparan, Perpustakaan yang tadinya sepi,
juga ramai di serbu para kutu buku, Masjid penuh dengan siswa yang mengejar
target sholatnya, lapangan juga ramai dipenuhi siswa laki laki yang bermain
sepak bola. Tapi bukan berarti kelas menjadi sepi, tetap saja ramai, dengan
para gadis yang ceriwisnya minta ampun.
Di sudut kelas, Vania yang bukan tipe anak
yang suka membicarakan orang lain, atau membanggakan harta orangtuanya itu
memilih untuk duduk di sudut kelas, di dekat galon air, dan rak buku, Ia duduk
di sebuah kursi marmer yang memang disediakan sekolah untuk setiap kelas. Sejak
bel berbunyi, Ia sudah berada di sana, sedari tadi Vania terus memandang kearah
langit, Ia berpikir andai Ia terlahir sebagai seekor burung, mungkin Ia tak
perlu menghadapi masalahnya saat ini, masalah yang seakan tidak ada akhirnya.
Ya , bisa di bilang kesalahpahaman antara Vania dan Revan cukup rumit, masalahnya
berawal dari Revan yang bergabung dengan club majalah sekolah, Ia banyak
menulis artikel untuk majalah sekolah, Ia juga memiliki banyak penggemar karena
tulisannya. Tapi itu bukan jadi penghalang untuk persahabatan Vania dan Revan,
Namun setelah Revan menulis artikel tentang Vania, semuanya berubah. Vania
menjadi sangat marah pada Revan, padahal Vania sendiri belum membaca artikel
itu, yang ada di pikirannya, Revan pasti menulis hal jelek tentangnya, karena setelah majalah itu
terbit, banyak siswi penggemar Revan yang membencinya, dan bahkan ada yang
sampai melabraknya. Vania menghela nafas panjang, matanya menerawang jauh saat
dimana ia dan Revan masih baik-baik saja.
“ Wooiii.., ada orangnya nggak sih ?” Ujar
Sera sambil mengetuk dahi Vania seperti mengetuk pintu rumahnya sendiri.
“ Apaan sih Ser, sakit tau !” Gerutu Vania,
tersadar dari lamunannya.
“ Ya, abis-nya dari tadi Aku di kacangin
sih,” Ujar Sera dengan wajah cemberut
“ Eh, masa’ sih ?”
“ Hhhh,… ya ampun non, dari tadi tuh kamu
ngelamun aja, sampe nggak tau kalau ada aku di sini” Ujar Sera masih dengan
wajah cemberutnya.
Baru saja Vania
akan membuka mulutnya ketika Revan datang dengan diikuti banyak anak lain di
belakangnya, seperti biasa ada pengumuman yang harus Ia sampaikan.
“ Oke, temen-temen, Aku baru dapet informasi
dari Bu Fahma, kalau 1 minggu lagi akan diadakan lomba sastra untuk
memperingati BULAN BAHASA, so, kita harus persiapin ini dengan sebaik mungkin,
tahun lalu kakak kelas 12 IPA 3 berhasil menyabet 4 juara pertama, jadi tahun
ini kita harus bisa merebut semuanya !” Ujar Revan dengan lantang
“ Emangnya, sekarang kita mau pilih siapa
yang akan mewakili kelas kita untuk lomba itu?” Tanya Vania. Ada sedikit nada
kesal pada kata katanya itu.
“ Oh, bukan sekarang, tapi nanti pulang sekolah,
jadi sepulang sekolah nanti jangan ada yang pulang dulu ya !” Pinta Revan pada
teman-temannya.
Setelah pengumuman selesai, semua siswa 12
IPA 3 kembali ke kegiatannya masing-masing. Tapi tidak dengan Revan, Ia
menghampiri Vania yang melanjutkan kegiatan melamunnya di sudut kelas, awalnya
Revan tampak ragu, namun Ia mencoba untuk tidak ragu lagi, karena yang di
hadapinya hanyalah Vania, sahabatnya_setidaknya sebelum kesalahpahaman itu
terjadi_
“ Van, aku mau ngomong sama kamu.” Ujar Revan.
Vania
menengadahkan kepalanya, Ia bertemu muka dengan Revan. Wajahnya sempat memerah
karena malu, namun itu Ia tutupi dengan nada bicara yang cukup keras.
“ Ngomong aja !” Ujar Vania masih dengan nada yang sama saat
Ia berbicara pada Revan tadi.
“ Uhm, masalah 1 tahun lalu itu……”
Vania tercekat
mendengar kata “Masalah 1 tahun lalu” keluar dari mulut Revan, Ia segera
bangkit dari tempat duduknya
“ Kalau soal itu, jangan dibahas sekarang !”
Ujar Vania, kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Revan di sudut kelas.
Pukul 14.30, saat yang paling di tunggu semua
siswa SMA Airlangga , pulang. Tapi kelas 12 IPA 3 masih sibuk mengurusi siapa
yang akan mewakili kelas mereka pada even BULAN BAHASA itu. Kelas yang satu ini
memang sangat ambisius untuk menyandang gelar juara UMUM pada even ini. Semuanya
berdebat ingin ikut ini lah, ikut itu lah (Lalalala :p), sampai akhirnya, hamper
semua lomba telah terisi, hanya tersisa lomba membaca puisi,
“ Guyss, tinggal satu lagi, apa ada yang mau
ngisi ?” Tanya Revan pada teman temannya
“ Kan tinggal 2 orang, kita suruh aja mereka
berdua,” Usul Daffa teman sebangku Revan
Semua anak melihat kearah Vania dan Ratna secara
bergantian. Vania yang merasa risih karena dilihat seluruh kelas pun, akhirnya
angkat bicara,
“ Rev, kamu tau kan kalau aku sama sekali
nggak suka sama sastra, jadi jangan ikut-in aku buat acara yang kayak begini.”
Ujar Vania
“ Lho, ya nggak bisa gitu dong Van, kita
semua udah terdaftar dalam perlombaan itu, kan nggak adil, kalau cuma kamu yang
nggak terdaftar !” Sergah Daffa
“ Kalau Aku bilang nggak mau, ya nggak mau
!!” Bentak Vania pada Daffa, yang memang saat itu ada di depannya.
“ Weitss, udah udah, kalau dia nggak mau
jangan di paksa.” Ujar Revan menengahi mereka. “Gini aja deh, Ratna kamu ya yang
ikut lomba puisi itu, dan Kamu Van, kamu cadangan,” Lanjut Revan. Ratna
menganggukkan kepalanya, sementara Vania tidak terima dengan keputusan Revan,
“Nggak,nggak,nggak. Apaan jadi cadangan
segala, nggak ah !” Ujar Vania
“ Ini udah jadi keputusanku, lagi pula kan
kamu cuma jadi cadangan, yang nantinya maju untuk lomba juga Ratna kan ?” Tanya
Revan dengan nada serius, nada bicara seperti inilah yang selalu membuat Vania
tak bisa membantah perkataan Revan.
“ Okelah, terserah kamu aja.” Ujar Vania sedikit
kesal.
Setelah perdebatan itu selesai, semua siswa 12
IPA 3 meninggalkan kelas, dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Tak
terkecuali Vania dan Revan. Rumah mereka berdua memang berdekatan, jadi tak
jarang mereka pulang bersama. Dulu, ketika hubungan persahabatan mereka masih
baik baik saja, selalu ada senda gurauan di antara mereka, saat menelusuri
jalan kompleks perumahan yang sepi itu, namun semenjak kesalahpahaman itu,
setiap kali pulang bersama (secara tidak sengaja tentu saja), jalan kompleks
yang sudah sepi, menjadi semakin sepi tanpa ada suara di antara mereka.
Walaupun sebenarnya, Vania selalu menghindari pulang bersama dengan Revan.
Vania berjalan sendirian, Sera yang kebetulan
tinggal di perumahan yang sama, sudah berbelok arah menuju blok C, sementara
Vania harus terus berjalan menuju rumahnya yang berada di blok E. Saat memasuki
kawasan blok D, ada suara yang memanggilnya, sejenak Vania berfikir bahwa yang
memanggilnya bukanlah manusia, namun pemikiran tersebut hilang, setelah Revan
muncul disampingnya.
“ Lho he, kok kamu ada disini sih ?” Tanya Vania heran
“ Lho he, kamu itu gimana sih, rumahku kan
juga ada di blok E, jadi nggak salah dong kalau aku ada di sini.” Ujar Revan
menirukan gimik Vania, jalan menuju blok E memang hanya ada satu ini.
“ Apaan sih, nggak usah ikut ikutan lho he lho
he, deh !” Ujar Vania kesal
“ Ya udah, ya udah, kalau gitu he lho,he lho
aja gimana ??” Ujar Revan dengan nada
menggoda. Vania tertawa mendengar perkataan Revan. Hal inilah yang selalu di
rindukan Revan, senyum dan tawa bahagia dari sahabatnya, indah rasanya bisa
melihat Vania tertawa seperti ini lagi. Revan terus memandangi Vania, Vania
yang sadar jika Ia sedang diperhatikan menghentikan tawanya.
“ Woi !!, keluar tuh mata nanti, merhatiin aku
sampai segitunya.” Ujar Vania, Revan tampak terkejut, dan menjadi salah tingkah
“ Nggak, lagi pula siapa juga yang memperhatikan
kamu.” Ujar Revan gelagapan.
“Revan, Revan, aku tuh tahu semua kelakuan
kamu, kita kan udah sahabatan lama banget.”
Revan terkejut
mendengar perkataan Vania tadi, Vania yang menyadari apa yang keluar dari
mulutnya juga terkejut. Sejenak suasana kembali sepi, keduanya tak bisa
mengeluarkan kata-kata.
“ Sahabat ?” Tanya Revan kemudian, ” Kamu
masih menganggap Aku sahabat ?.” lanjut Revan dengan suara yang sedikit
tertahan. Vania tak bisa berkata apa apa, kedua mata nya sudah mulai berair,
wajah nya juga sudah mulai memerah. Hari semakin sore, langit sudah menunjukkan
guratan merah, tapi Vania belum juga menjawab pertanyaan Revan.
“Nggak…” Lirih Vania “Aku nggak akan pernah
anggap kamu sebagai sahabat lagi” air mata sudah berada di pelupuk matanya sekarang.
“ Tapi
kenapa Van, apa salah ku, sampai kamu marah banget sama aku, apa?” Tanya Revan
Lagi.
“ Kamu nggak usah pura pura bego, aku yakin
kamu tau apa kesalahanmu. Inget baik baik ya Rev, aku sama sekali nggak mau
berteman apalagi bersahabat sama seorang pengkhianat kayak kamu, ngerti kamu
!!” Ujar Vania dengan nada tinggi. Air mata sudah berada di pelupuk mata Vania,
Vania segera pergi meninggalkan Revan sendiri. Revan tak tahu lagi harus
berbuat apa, apa yang harus Ia lakukan agar Vania mau memaafkannya, dan kembali
menjadi sahabatnya.
Satu minggu telah berlalu, semua persiapan
yang dilakukan oleh kelas 12 IPA 3 telah sempurna, dan sekarang adalah saat
yang telah di tunggu tunggu, hari di mana mereka akan menunjukkan yang terbaik
dari kelas mereka. Aula disulap menjadi sebuah tempat yang megah. Panggung
lengkap dengan dekorasi yang indah, sound sistem super mewah, dan segala hal
yang menyenangkan telah tersedia disana (tapi bukan seperti taman bermain).
Pukul 07.00 tepat, seluruh siswa SMA
Airlangga berkumpul di Aula untuk pembukaan acara, setelah itu perlombaan dimulai.
Aula menjadi penuh dengan para siswa, baik peserta atau para supporter memenuhi
aula, ada juga yang bergerombol di depan beberapa kelas yang digunakan untuk
lomba. Mungkin hanya lapangan yang terlihat sepi, walaupun tidak sepenuhnya
sepi, Vania ada disana.
Ia memantulkan
bola basket kasana kemari, terkadang Ia juga melakukan “JUMP SHOOT” atau bahkan “THREE POINT”. Yang tidak semua
anggota club basket putri bisa melakukannya. Vania berhenti memainkan bola
basket itu, Ia mengambil botol air mineral yang ada di tepi lapangan, dan
langsung menghabiskannya dengan satu tegukan, Vania duduk di antara pepohonan
yang ada di tepi lapangan. Beberapa hari terakhir ini Vania sering sekali
menghabiskan waktu istirahatnya di lapangan, entah itu bermain bola basket atau
terkadang hanya duduk termenung di bawah pepohonan, persis seperti yang Ia
lakukan saat ini. Dan itu Ia lakukan, setelah pertengkarannya dengan Revan
minggu lalu.
Sementara itu di aula, siswa kelas 12 IPA 3
kebingungan karena tiba tiba Ratna, perwakilan lomba baca puisi terkena Typhus
dan harus dirawat di rumah sakit.
“ Ya terus sekarang kita mesti gimana dong
?!” Tanya Sera panik.
“ Oke , Kamu tenang dulu dong Ser. Jangan
panik.” Ujar Revan berusaha menenang kan temannya yang satu itu.
“ Rev, bukannya kamu nyuruh Vania buat jadi
cadangan ya, kenapa kita nggak minta dia aja buat gantiin Ratna” Usul Daffa.
“ Caranya ?, ayolah dulu aja waktu aku minta
dia jadi cadangan susahnya minta ampun, apalagi sekarang disuruh buat mewakili
kelas.” Ujar Revan
“ Ya, kamu kan ketua kelas, gimana caranya kamu
bisa bujuk dia supaya mau, lagi pula yang namanya cadangan itu dibuat, supaya
kalau ada apa apa sama tim inti ada yang bisa menggantikan.” Ujar Daffa
“ Ya, oke, oke, aku akan bujuk dia, tapi aku
nggak janji dia mau.” Ujar Revan kemudian pergi menemui Vania. Tidak sulit
untuk menemukan Vania, Revan sudah tahu di mana Vania sekarang. Vania masih
duduk dengan membenamkan wajahnya pada kedua kakinya yang ditekuk hingga ke
dada, saat Revan berada di sampingnya. Vania menyadari bahwa ada seseorang di
dekatnya saat ini, Ia mengangkat wajahnya dan melihat Revan. Vania langsung membuang
pandangannya ke tengah lapangan.
“ Mau apa kamu ke sini ?” Tanya Vania dengan
tetap memandang ke tengah lapangan.
“ Anak anak minta supaya kamu mau
menggantikan Ratna di perlombaan baca puisi.” Jawab Revan singkat.
“ Nggak nggak nggak, kan aku udah pernah
bilang kalau aku nggak akan pernah mau ikut acara seperti ini, nggak ah !” Ujar
Vania sedikit kesal.
“ Kalau ini karena pertengkaran kita, tolong
lupakan semua itu, aku mohon jangan sangkut pautkan hal itu dengan ini, kamu
lakukan ini demi kelas, kamu nggak mau ngelakuin ini demi kelas ?” Ujar Revan tegas.
“Ya, ya terus aku harus pake baju kayak gini
?” Ujar Vania mengelak. Saat itu Ia memang hanya mengenakan pakaian sederhana
(celana jins ¾, kaos oblong berwarna biru laut, dan sepatu cats putih).
“ Kalau kamu mau, kamu bisa pinjam gaun
milikku.” Ujar seorang gadis yang sepertinya sudah ada di belakang mereka sejak
tadi. Terra, murid pindahan dari Surabaya. Dia baru masuk sekitar 3 hari yang
lalu, jadi dia tidak ambil bagian dalam even kali ini.
“ Gaun kamu, maksudnya ?” Tanya Vania heran.
“ Rumahku tidak jauh dari sini, dan aku rasa
mungkin tidak akan sempat jika kamu harus pulang dulu, kebetulan juga aku punya
banyak sekali gaun yang bisa kamu kenakan.” Ujar Terra. Revan langsung
menyetujui hal itu, dengan susah payah Vania dibawa ke rumah Terra yang hanya
sepelempar batu dari sekolah. Sampai di sana Vania masih saja membuat ulah,
yang katanya gaunnya nggak cocok lah, make up nya terlalu tebal lah, dan lain
sebagainya.
Setelah 15 menit di “otak atik” oleh Terra,
mereka kembali ke sekolah, saat melintasi lapangan Vania terus menundukkan
kepalanya. Beberapa anggota club basket sedang bekumpul disana, ‘ngapain sih
anak anak pake kumpul di situ segala!’ gerutu Vania dalam hati
“ Hei, bukannya itu ‘Ratu Lapangan’ ?” Teriak
seorang siswa, serentak seluruh siswa yang sedang ada di lapangan itu
mengalihkan pandangan mereka ke arah Vania. Mereka seperti melihat seorang
bidadari yang baru turun dari atas genteng, tak berkutik sama sekali. Vania
memang terlihat berbeda, ia sangat cantik dengan dress berwarna ungu muda
setinggi lutut, Sepatu ber-hak tinggi sekitar 5 cm, rambut yang biasa di kuncir
kuda kini digerai dengan pita merah jambu yang menghiasi kepalanya. Make-up
yang ia pakai juga tidak berlebihan, sangat serasi dengan gaun yang ia kenakan.
“ Wah, wah, wah ternyata ratu lapangan kita
yang satu ini bisa jadi Cinderella juga ya.” Goda Sera pada Vania yang baru
saja memasuki aula.
“ Apaan sih Ser, Aku jadi kayak gini juga
karena kelas kita tau !” Ujar Vania dengan wajah yang tertekuk.
“ Udah, udah nggak usah ribut, sekarang kan
kita udah bisa tenang karena ada yang mewakili kelas kita di perlombaan ini,
dan kamu memang terlihat cantik Vania, jadi jangan marah kalau ada orang yang
memujimu.” Puji Terra, wajah Vania langsung berubah menjadi merah seperti tomat
yang baru saja matang.
“ Nih.” Ujar Revan sambil mengangsurkan
selembar kertas pada Vania “ Itu puisi yang dibuat sama Ratna kemarin, !”
lanjut Revan tanpa memandang Vania
“Ini
yang harus aku baca ?” Tanya Vania yang juga tidak memandang Revan.
“ Hmm..” jawab Revan singkat, kemudian
meninggalkan aula.
Satu demi satu
peserta menampilkan bakat membaca puisi yang menakjubkan dengan berbagai tema,
ada yang menggunakan alat peraga, ada yang menggunakan alunan music, dan lain
sebagainya. Vania merasa gugup, karena ini pertama kalinya ia harus tampil di
depan umum sendirian, karena biasanya ia tampil beregu dengan tim basket atau
tim softball-nya, dan kali ini tanpa persiapan pula. Berkali kali Vania pergi
ke kamar mandi, dan tak jarang ia menggigiti ibu jarinya. Gugup katanya.
Kini saat yang
sudah di tunggu siswa 12 IPA 3, Vania naik ke atas panggung, kedua kakinya
gemetar, keringat dingin mulai bercucuran, Vania mulai membacakan puisi yang di
buat Ratna dengan sangat indah, para guru yang menjadi juri tidak percaya bahwa
gadis yang di juluki RATU LAPANGAN ini bisa membawakan puisi dengan begitu
indah. Puisi berjudul “SAHABAT” itu berhasil membuat seisi aula merinding.
Semua larut dalam untaian kata yang di ucapkan Vania, ekspresi serta gesture
tubuhnya membuat puisi yang ia bawakan semakin indah. Tak ada yang percaya
bahwa Vania bisa membawakan puisi seindah itu. Revan yang sedang bersandar di
pintu aula tersenyum kecil, seakan ia sudah tahu bahwa Vania memang akan
membawakan puisi itu dengan indah. Puisi selesai dibacakan seisi ruangan
bangkit dan bertepuk tangan. Vania yang masih gemetar segera turun dari atas
panggung. Di belakang panggung, teman teman Vania menyambutnya dengan gembira.
Sera bahkan memeluk sahabatnya itu dengan erat.
“Tuh kan, aku
bilang juga apa, kamu pasti bisa kok !” ujar Sera bangga.
“ Iya,iya
percaya deh.” Ujar Vania sambil
tersenyum.
Revan hanya bisa
melihat kegembiraan itu dari kejauhan. Ia tak ingin kebahagiaan teman temannya
itu hancur hanya karena kehadirannya. Vania tampak sangat bahagia, ia terus saja
tersenyum. Tanpa tahu bahwa ia sedang diperhatikan.
“ Kalau dia
emang sahabat kamu, seharusnya kamu ke sana dong, bukannya ngumpet di sini !”
Revan
terperanjat saat tahu siapa yang ada di belakangnya saat itu.
“ Daffa,
ngagetin aja !” Ujar Revan masih dengan wajah terkejutnya.
“ Kalau kamu
tetap di sini, kamu nggak akan pernah jadi sahabat nya lagi.” Ujar Daffa dengan
nada bijak yang sering ia gunakan untuk menasehati teman temannya.
“ Kamu nggak
tahu masalahnya Daf, ini tuh….ini…” Revan
terlihat sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di otaknya saat ini.
“ Rev, aku kasih
tahu ya, kalau Vania itu emang bener-bener sahabatmu, dia akan maafin kamu
apapun alasan kamu nantinya.” Ujar Daffa sambil melipat kedua tangannya ke
depan dada.
Apa benar Vania
akan memaafkannya semudah itu, apa yang di katakana Daffa itu benar, apa bisa…….
Revan mengembalikan perhatiannya pada Vania, gadis itu masih terus bercanda
dengan bersama anak anak lainnya. Revan tak tahu apa yang harus ia lakukan saat
itu, ia menundukkan kepalanya, raut wajahnya berubah seketika, lama ia larut
dalam kenangan nya bersama Vania. Saat ia mengangkat kepalanya, Vania sudah ada
di hadapannya. Revan hampir meloncat karena terkejut.
“ Kenapa
terkejut seperti itu ?” Ujar Vania
“ Kenapa
kamu….., bukannya tadi kamu….”
“ Ya, tadi Daffa
bilang kamu mau bicara sama aku, bicara apa ?” Tanya Vania
“ Bicara ?,
nggak, siapa yang mau ngajak kamu bicara.” Ujar Revan sambil terus melihat
Daffa yang sudah bersama teman temannya. Vania tampak kecewa dengan jawaban
Revan.
“ Ya udahlah
kalau emang kamu nggak mau bicara, aku balik aja deh !” Ujar Vania sambil
membalikkan badannya. Revan menahannya dengan menarik lengan Vania
“ Tunggu
sebentar, iya sih ada yang mau aku bicarakan sama kamu.” Ujar Revan “ tapi
nggak di sini.”
Vania
mengerutkan dahinya, ia bingung dengan apa yang sedang di lakukan Revan, sejak
mereka tiba di lab Bahasa, ia hanya diam dan mondar mandir tidak jelas. Vania
baru saja akan membuka pintu saat Revan menarik tangannya.
“ Tunggu, aku minta maaf .” Ujar Revan. Vania menutup
kembali pintu yang sudah setengah terbuka itu. Ia memandang Revan heran, untuk
apa ia meminta maaf, pikirnya.
“ Aku tau kamu
marah sama aku karena artikel yang aku buat di majalah sekolah setahun yang lalu
itu kan, tapi kenapa, aku nggak nulis hal hal jelek tentang kamu di artikel
itu.” Ujar Revan dengan suara yang mulai parau. Saat itu Vania ingat bahwa ia
dan Revan sedang bermusuhan, wajah Vania langsung berubah 180o .
dari wajah yang kebingungan menjadi wajah yang sedih.
“ Nggak nulis
hal yang jelek tentang aku ?, kok kayaknya itu nggak mungkin ya !” Ujar Vania
sembari melipat kedua tangannya ke depan dada. Revan memandang Vania bingung,
apa yang di katakana gadis ini ?.
“ Kalo kamu
nggak nulis hal yang buruk tentang aku, Vannesa ketua fansclub kamu itu nggak mungkin menemuiku sambil marah marah !”
Ujar Vania sambil tetap tidak melihat ke arah Revan.
“ Ja..jadi
Vannesa ngelabrak kamu, kok kamu nggak pernah cerita sama aku ?” Tanya Revan
terkejut. Vania mendengus kesal, ia heran dengan pertanyaan anak ini, sudah
jelas jelas yang menyebabkan Vannesa marah adalah artikel yang Revan buat
sendiri, masih tanya kenapa ia tidak menceritakan hal itu.
“ Aku bener bener
nggak nulis hal yang buruk tentang kamu, emangnya kamu nggak baca artikel itu
?” Tanya Revan. Vania menggelengkan kepalanya. Revan menghela nafas panjang, Ia
sudah menduga hal ini. Ia berjalan menuju sudut ruangan itu, ia mengorak arik
tumpukan kertas yang ada di sana, dan mengambil sebuah majalah, majalah
sekolah.
“ Nih, aku inget
ada satu majalah yang di tinggalkan bu Sarah di sini waktu itu.” Ujar Revan
sambil mengangsurkan majalah itu pada Vania. “ Kamu buka halaman 12 dan kamu
baca sendiri artikel yang aku buat itu.” Lanjut Revan.
Vania segera
membuka majalah itu tepat di halaman 12, ia membaca tulisan yang ada di sana
dengan hati hati. Beberapa paragraph sudah ia baca dan setiap kalimat yang ia
baca semakin membuat Vania tercekat, yang di tulis oleh Revan adalah biografi
dan semua prestasi yang ia raih selama ia sekolah di SMA Airlangga ini. Kalimat
terakhir yang ia baca membuatnya terpaksa meneteskan air mata.
‘ Vania bukan
hanya gadis yang pandai dalam olahraga, hingga ia mendapat julukan RATU LAPANGAN di sekolah, ia juga sahabat
yang sangat baik, sulit mencari sahabat seperti dia, sempat aku berfikir untuk
membuat hubungan ini lebih dari sekedar sahabat, namun jika hubungan ini lebih
dari sahabat, tidak akan ada sahabat yang bisa ku banggakan, tidak akan ada
sahabat yang menjengkelkan, tidak ada sehabat yang akan mengingatkanku untuk
selalu belajar, tidak ada sahabat yang mengomeliku habis-habisan jika aku
membuat kesalahan dan mungkin akan ada perpisahan jika aku memulai hubungan itu,
karena dengan menjadi sahabatnya tidak akan ada kata pisah diantara kami, dan
aku berharap persahabatan ini tidak akan pernah berakhir, bahkan hingga akhir
nafas ini.’ Setelah membaca paragraph
terakhir itu Vania menundukkan kepalanya, air mata mengalir tanpa bisa dicegah.
“ Rev, maafin
aku, harusnya aku… aku….” Vania tidak bisa melanjutkan kata katanya ia terus
terisak. Revan mendekati Vania perlahan, lalu memeluknya.
“ Kamu nggak
perlu minta maaf, aku tau Vannesa itu orangnya kayak gimana, dia memang sudah
menyukaiku sejak lama, jadi mungkin kalimat terakhir itu yang membuatnya marah
dan melabrakmu, aku minta maaf.” Ujar Revan sambil mempererat pelukannya. Revan
yang sedari tadi menahan air matanya, tak bisa lagi menahannya, keduanya
menangis dalam diam. Cukup lama.
Revan melepas
pelukannya, ia memandang Vania yang masih terisak. Vania mengusap kedua
matanya.
“ Udah jangan
nangis, dasar cengeng.” Ujar Revan
dengan nada menggoda
“ Apaan sih.”
Ujar Vania sambil memukul pelan lengan Revan. “ Maafin aku ya, harusnya aku
baca dulu artikel kamu, gara-gara aku teledor, kita jadi musuhan lama banget.”
Lanjut Vania yang sudah berhenti terisak. Revan menepuk dahi Vania dan
tersenyum.
“ Jadi kacang
lagi deh.” Ujar Sera kesal. Memang sejak keluar dari gerbang sekolah, Revan dan
Vania terus bercanda tanpa mempedulikan Sera yang ada di sebelah mereka.
“ Jangan ngambek
gitu dong Ser, aku kan juga pengen ngobrol sama Vania!” Ujar Revan dengan nada
menggoda
“ Iya, tau deh
yang baru baikan, kenapa nggak sekalian aja kalian pacaran.” Cetus Sera tanpa tampang
bersalah sedikit pun. Revan dan Vania serempak menoleh ke arah Sera, wajah
keduanya bersemu merah karena malu. Sera yang menyadari hal itu langsung
berbelok menuju blok C. “ da, entar malah jadi obat nyamuk lagi.” Ujarnya
sambil berlari. “ Anak itu !!!” Ujar Vania geram
Persimpangan
jalan di dekat sungai, tempat Revan dan Vania pertama kali bertemu. Revan turun ke tepian sungai, Vania tampak
heran melihat temannya itu tiba tiba turun ke tepian sungai, wajah Revan tampak
tenang dan damai, ia mengambil nafas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan.
“ Kamu ngapain
sih ?” Tanya Vania heran, Revan membalikkan badannya, ia menarik Vania ke
tepian sungai. “ Masih ingat tempat ini ?” Tanya Revan ringan, Vania
menganggukkan kepalanya, dan saat semburat cahaya jingga berada di ufuk barat,
ia baru tahu apa yang di rasakan Revan saat ini, perasaan tenang dan damai,
perasaan yang selama ini mungkin sudah ia lupakan, Vania memandang ke arah
Revan, pandangannya masih lurus menatap indahnya senja,
“ Revan, aku mau
Tanya sesuatu deh, kenapa semua tulisan kamu yang ada di majalah sekolah edisi
itu nggak ada judulnya ?” Tanya Vania
“ Menurut kamu
kenapa ?”
“ Lah kok jadi
balik nanya sih, ya mana aku tau.” Ujar Vania kesal
“ Hmp, kamu lucu
tau nggak kalo lagi ngambek gitu. Iya,iya aku jawab. Tulisanku emang sengaja
nggak aku kasih judul, selain takut nggak sinkron sama isi nya aku juga
berpikir apa gunanya judul.” Jelas Revan sembari menurunkan badannya ke tanah.
Duduk.
“ Ya kan bisa,
kamu kasih judul kayak “BIOGRAFI VANIA YANG CANTIK” hehehe.” Ujar Vania dengan
nada menggoda. Revan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya,
“Nggak bisa
kayak gitu dong, untuk ku judul nggak begitu penting, karena isi dari tulisan
itulah yang penting, sama kayak kehidupan, apa kamu pernah memikirkan untuk
memberi sebuah kehidupan itu judul ?, kalau pun ada pasti judul itu akan
berubah sesuai dengan apa yang kita alami selama kita hidup, makanya untuk saat
ini, saat tulisan ku belum bisa di bilang bagus aku nggak mau ngasih judul,
mungkin nanti kalau aku udah jadi penulis yang hebat” Vania terkesan dengan apa
yang keluar dari mulut Revan, tapi apa yang keluar dari mulut Revan memang
selalu terdengar indah. Sama ketika Revan mengatakan “Maaf” padanya berulang
kali. Senja yang Indah, bayangan mereka mulai tak terlihat lagi, karena
matahari telah kembali ke peraduannya. Tapi keduanya masih ingin terus berada
di sini, di tempat mereka bertemu, dan dipertemukan kembali.
Belum Ada Judul
Gadis itu berjalan
gontai menuju kelas paling ujung di salah satu koridor sebuah sekolah ternama
di kota itu. Kelas paling ujung itu adalah kelas 12 IPA 3, Ia tampak enggan melangkahkan kakinya menuju
kelas tersebut, sejenak ia menghela nafas panjang lalu membuka pintu kelas
tersebut. Belum selangkah ia masuk ke
dalam kelas ‘Brugh!!’. Seseorang menabraknya, hingga Ia jatuh terduduk, seorang
anak laki-laki bertubuh tinggi, berambut cepak, serta mata coklat yang terlihat
dingin. Anak laki laki itu mengulurkan tangannya pada gadis itu, bermaksud
untuk membantunya bangun. Namun uluran tangannya langsung ditepis oleh gadis
itu. Gadis itu segera bangkit dari duduknya, wajahnya sudah mulai memerah
karena malu.
“Nggak usah sok bantuin aku!” Ujar gadis itu
ketus, anak laki laki itu hanya tersenyum pada gadis itu.
“Nggak usah
senyum senyum deh, Aku bilangin sama kamu ya, lain kali kalau jalan pake mata!”
bentak gadis itu
“ Vania, Vania.
Kamu belajar bego dimana sih ?, dari dulu yang namanya jalan ya pake kaki,
bukannya pake mata, mata tuh buat lihat jalannya.” Ujar anak laki laki itu dengan nada mengejek.
“ Ya ya ya, aku
kan belajar bego dari kamu !” Ujar gadis
itu tak mau kalah.
“ Kalo gitu,
kayaknya kamu harus belajar lebih giat lagi, muridku tersayang !.” Ucap
anak itu sambil menepuk dahi Vania. Vania hanya diam, ia tak bisa membalas kata
katanya lagi. Anak itu kemudian pergi begitu saja meninggalkan Vania dengan
wajah merah penuh amarah.
“REVAAAAAAN………………!!!!!”
Yup, nama anak laki laki tadi adalah Revan, Ia
adalah ketua kelas 12 IPA 3, Ia adalah siswa yang aktif di organisasi, seperti
OSIS, PMR, PRAMUKA, dan lain sebagainya, Ia juga sering di minta untuk menjadi
panitia pada even-even di sekolah, dan bukan cuma itu saja, Ia memiliki segudang
prestasi akademik, seperti juara 2 OLYMPIADE SAINS tingkat provinsi, juara
harapan 1 dalam KARYA ILMIAH REMAJA tingkat kota, dan masih banyak lagi. Sedangkan gadis itu adalah Vania, Ia memang
tidak se-pandai Revan, tapi kalau masalah olahraga Ia jagonya, tahun ini Ia di
tunjuk untuk menjadi ketua tim Basket putri di sekolahnya, sebelumnya Ia juga
pernah menjabat sebagai wakil ketua tim Soft Ball SMA Airlangga ini ( oh ya
sampai lupa, nama sekolah tempat mereka belajar ini adalah SMA Airlangga, keren
kan ?! hehehe ^_^). Vania berkali-kali mengikuti kejuaraan nasional, dan
walaupun bukan juara satu, tapi setidak-nya Ia dan timnya selalu bisa membawa
piala untuk SMA Airlangga. 2 kepribadian yang berbeda ini awalnya di pertemukan
dengan status sahabat, mereka berdua sudah menjadi sahabat sejak kelas 4 SD,
namun karena sebuah kesalahpahaman, mereka pun berubah, dari sahabat yang amat
dekat, menjadi musuh abadi yang mungkin akan kekal.
“ Brak !!!!” Vania melemparkan tas nya yang
penuh buku itu tepat di mejanya, sontak itu membuat Sera sahabat sekaligus
teman sebangkunya hampir melompat dari kursi tempatnya duduk.
“Apaan sih Van, ini masih pagi tau !!”
seloroh Sera.
“ Ya, Aku juga tau ini masih pagi, dan kenapa
ada aja orang yang cari gara gara sama Aku, padahal dia tahu ini masih pagi !!”
Ujar Vania bersungut sungut.
“ Biar Aku
tebak,.. Revan, kan ?!” Tebak Sera pada Vania yang entah sejak kapan sudah ada
di sampingnya.
Vania menghela
nafas panjang, kemudian menganggukkan kepala-nya. Ia menundukkan kepalanya
hingga menyentuh meja di depannya, dan lagi-lagi Vania menghela nafas panjang,
kini raut wajahnya terlihat sedih, Sera yang memang tak pernah melihat
sahabatnya sedih itu langsung kebingungan.
“ Van, ?” Tanya Sera pada Vania yang masih
menundukkan kepalanya.Vania mengembalikan posisinya seperti semula dan dengan
senyum lebar Ia berkata “ Nggak papa kok.” Walau dengan suara yang sedikit
tertahan.
Bel tanda
istirahat telah berbunyi, semua siswa berhamburan keluar kelas. Kantin jadi
penuh sesak dengan anak anak yang kelaparan, Perpustakaan yang tadinya sepi,
juga ramai di serbu para kutu buku, Masjid penuh dengan siswa yang mengejar
target sholatnya, lapangan juga ramai dipenuhi siswa laki laki yang bermain
sepak bola. Tapi bukan berarti kelas menjadi sepi, tetap saja ramai, dengan
para gadis yang ceriwisnya minta ampun.
Di sudut kelas, Vania yang bukan tipe anak
yang suka membicarakan orang lain, atau membanggakan harta orangtuanya itu
memilih untuk duduk di sudut kelas, di dekat galon air, dan rak buku, Ia duduk
di sebuah kursi marmer yang memang disediakan sekolah untuk setiap kelas. Sejak
bel berbunyi, Ia sudah berada di sana, sedari tadi Vania terus memandang kearah
langit, Ia berpikir andai Ia terlahir sebagai seekor burung, mungkin Ia tak
perlu menghadapi masalahnya saat ini, masalah yang seakan tidak ada akhirnya.
Ya , bisa di bilang kesalahpahaman antara Vania dan Revan cukup rumit, masalahnya
berawal dari Revan yang bergabung dengan club majalah sekolah, Ia banyak
menulis artikel untuk majalah sekolah, Ia juga memiliki banyak penggemar karena
tulisannya. Tapi itu bukan jadi penghalang untuk persahabatan Vania dan Revan,
Namun setelah Revan menulis artikel tentang Vania, semuanya berubah. Vania
menjadi sangat marah pada Revan, padahal Vania sendiri belum membaca artikel
itu, yang ada di pikirannya, Revan pasti menulis hal jelek tentangnya, karena setelah majalah itu
terbit, banyak siswi penggemar Revan yang membencinya, dan bahkan ada yang
sampai melabraknya. Vania menghela nafas panjang, matanya menerawang jauh saat
dimana ia dan Revan masih baik-baik saja.
“ Wooiii.., ada orangnya nggak sih ?” Ujar
Sera sambil mengetuk dahi Vania seperti mengetuk pintu rumahnya sendiri.
“ Apaan sih Ser, sakit tau !” Gerutu Vania,
tersadar dari lamunannya.
“ Ya, abis-nya dari tadi Aku di kacangin
sih,” Ujar Sera dengan wajah cemberut
“ Eh, masa’ sih ?”
“ Hhhh,… ya ampun non, dari tadi tuh kamu
ngelamun aja, sampe nggak tau kalau ada aku di sini” Ujar Sera masih dengan
wajah cemberutnya.
Baru saja Vania
akan membuka mulutnya ketika Revan datang dengan diikuti banyak anak lain di
belakangnya, seperti biasa ada pengumuman yang harus Ia sampaikan.
“ Oke, temen-temen, Aku baru dapet informasi
dari Bu Fahma, kalau 1 minggu lagi akan diadakan lomba sastra untuk
memperingati BULAN BAHASA, so, kita harus persiapin ini dengan sebaik mungkin,
tahun lalu kakak kelas 12 IPA 3 berhasil menyabet 4 juara pertama, jadi tahun
ini kita harus bisa merebut semuanya !” Ujar Revan dengan lantang
“ Emangnya, sekarang kita mau pilih siapa
yang akan mewakili kelas kita untuk lomba itu?” Tanya Vania. Ada sedikit nada
kesal pada kata katanya itu.
“ Oh, bukan sekarang, tapi nanti pulang sekolah,
jadi sepulang sekolah nanti jangan ada yang pulang dulu ya !” Pinta Revan pada
teman-temannya.
Setelah pengumuman selesai, semua siswa 12
IPA 3 kembali ke kegiatannya masing-masing. Tapi tidak dengan Revan, Ia
menghampiri Vania yang melanjutkan kegiatan melamunnya di sudut kelas, awalnya
Revan tampak ragu, namun Ia mencoba untuk tidak ragu lagi, karena yang di
hadapinya hanyalah Vania, sahabatnya_setidaknya sebelum kesalahpahaman itu
terjadi_
“ Van, aku mau ngomong sama kamu.” Ujar Revan.
Vania
menengadahkan kepalanya, Ia bertemu muka dengan Revan. Wajahnya sempat memerah
karena malu, namun itu Ia tutupi dengan nada bicara yang cukup keras.
“ Ngomong aja !” Ujar Vania masih dengan nada yang sama saat
Ia berbicara pada Revan tadi.
“ Uhm, masalah 1 tahun lalu itu……”
Vania tercekat
mendengar kata “Masalah 1 tahun lalu” keluar dari mulut Revan, Ia segera
bangkit dari tempat duduknya
“ Kalau soal itu, jangan dibahas sekarang !”
Ujar Vania, kemudian pergi begitu saja, meninggalkan Revan di sudut kelas.
Pukul 14.30, saat yang paling di tunggu semua
siswa SMA Airlangga , pulang. Tapi kelas 12 IPA 3 masih sibuk mengurusi siapa
yang akan mewakili kelas mereka pada even BULAN BAHASA itu. Kelas yang satu ini
memang sangat ambisius untuk menyandang gelar juara UMUM pada even ini. Semuanya
berdebat ingin ikut ini lah, ikut itu lah (Lalalala :p), sampai akhirnya, hamper
semua lomba telah terisi, hanya tersisa lomba membaca puisi,
“ Guyss, tinggal satu lagi, apa ada yang mau
ngisi ?” Tanya Revan pada teman temannya
“ Kan tinggal 2 orang, kita suruh aja mereka
berdua,” Usul Daffa teman sebangku Revan
Semua anak melihat kearah Vania dan Ratna secara
bergantian. Vania yang merasa risih karena dilihat seluruh kelas pun, akhirnya
angkat bicara,
“ Rev, kamu tau kan kalau aku sama sekali
nggak suka sama sastra, jadi jangan ikut-in aku buat acara yang kayak begini.”
Ujar Vania
“ Lho, ya nggak bisa gitu dong Van, kita
semua udah terdaftar dalam perlombaan itu, kan nggak adil, kalau cuma kamu yang
nggak terdaftar !” Sergah Daffa
“ Kalau Aku bilang nggak mau, ya nggak mau
!!” Bentak Vania pada Daffa, yang memang saat itu ada di depannya.
“ Weitss, udah udah, kalau dia nggak mau
jangan di paksa.” Ujar Revan menengahi mereka. “Gini aja deh, Ratna kamu ya yang
ikut lomba puisi itu, dan Kamu Van, kamu cadangan,” Lanjut Revan. Ratna
menganggukkan kepalanya, sementara Vania tidak terima dengan keputusan Revan,
“Nggak,nggak,nggak. Apaan jadi cadangan
segala, nggak ah !” Ujar Vania
“ Ini udah jadi keputusanku, lagi pula kan
kamu cuma jadi cadangan, yang nantinya maju untuk lomba juga Ratna kan ?” Tanya
Revan dengan nada serius, nada bicara seperti inilah yang selalu membuat Vania
tak bisa membantah perkataan Revan.
“ Okelah, terserah kamu aja.” Ujar Vania sedikit
kesal.
Setelah perdebatan itu selesai, semua siswa 12
IPA 3 meninggalkan kelas, dan pulang ke rumah mereka masing-masing. Tak
terkecuali Vania dan Revan. Rumah mereka berdua memang berdekatan, jadi tak
jarang mereka pulang bersama. Dulu, ketika hubungan persahabatan mereka masih
baik baik saja, selalu ada senda gurauan di antara mereka, saat menelusuri
jalan kompleks perumahan yang sepi itu, namun semenjak kesalahpahaman itu,
setiap kali pulang bersama (secara tidak sengaja tentu saja), jalan kompleks
yang sudah sepi, menjadi semakin sepi tanpa ada suara di antara mereka.
Walaupun sebenarnya, Vania selalu menghindari pulang bersama dengan Revan.
Vania berjalan sendirian, Sera yang kebetulan
tinggal di perumahan yang sama, sudah berbelok arah menuju blok C, sementara
Vania harus terus berjalan menuju rumahnya yang berada di blok E. Saat memasuki
kawasan blok D, ada suara yang memanggilnya, sejenak Vania berfikir bahwa yang
memanggilnya bukanlah manusia, namun pemikiran tersebut hilang, setelah Revan
muncul disampingnya.
“ Lho he, kok kamu ada disini sih ?” Tanya Vania heran
“ Lho he, kamu itu gimana sih, rumahku kan
juga ada di blok E, jadi nggak salah dong kalau aku ada di sini.” Ujar Revan
menirukan gimik Vania, jalan menuju blok E memang hanya ada satu ini.
“ Apaan sih, nggak usah ikut ikutan lho he lho
he, deh !” Ujar Vania kesal
“ Ya udah, ya udah, kalau gitu he lho,he lho
aja gimana ??” Ujar Revan dengan nada
menggoda. Vania tertawa mendengar perkataan Revan. Hal inilah yang selalu di
rindukan Revan, senyum dan tawa bahagia dari sahabatnya, indah rasanya bisa
melihat Vania tertawa seperti ini lagi. Revan terus memandangi Vania, Vania
yang sadar jika Ia sedang diperhatikan menghentikan tawanya.
“ Woi !!, keluar tuh mata nanti, merhatiin aku
sampai segitunya.” Ujar Vania, Revan tampak terkejut, dan menjadi salah tingkah
“ Nggak, lagi pula siapa juga yang memperhatikan
kamu.” Ujar Revan gelagapan.
“Revan, Revan, aku tuh tahu semua kelakuan
kamu, kita kan udah sahabatan lama banget.”
Revan terkejut
mendengar perkataan Vania tadi, Vania yang menyadari apa yang keluar dari
mulutnya juga terkejut. Sejenak suasana kembali sepi, keduanya tak bisa
mengeluarkan kata-kata.
“ Sahabat ?” Tanya Revan kemudian, ” Kamu
masih menganggap Aku sahabat ?.” lanjut Revan dengan suara yang sedikit
tertahan. Vania tak bisa berkata apa apa, kedua mata nya sudah mulai berair,
wajah nya juga sudah mulai memerah. Hari semakin sore, langit sudah menunjukkan
guratan merah, tapi Vania belum juga menjawab pertanyaan Revan.
“Nggak…” Lirih Vania “Aku nggak akan pernah
anggap kamu sebagai sahabat lagi” air mata sudah berada di pelupuk matanya sekarang.
“ Tapi
kenapa Van, apa salah ku, sampai kamu marah banget sama aku, apa?” Tanya Revan
Lagi.
“ Kamu nggak usah pura pura bego, aku yakin
kamu tau apa kesalahanmu. Inget baik baik ya Rev, aku sama sekali nggak mau
berteman apalagi bersahabat sama seorang pengkhianat kayak kamu, ngerti kamu
!!” Ujar Vania dengan nada tinggi. Air mata sudah berada di pelupuk mata Vania,
Vania segera pergi meninggalkan Revan sendiri. Revan tak tahu lagi harus
berbuat apa, apa yang harus Ia lakukan agar Vania mau memaafkannya, dan kembali
menjadi sahabatnya.
Satu minggu telah berlalu, semua persiapan
yang dilakukan oleh kelas 12 IPA 3 telah sempurna, dan sekarang adalah saat
yang telah di tunggu tunggu, hari di mana mereka akan menunjukkan yang terbaik
dari kelas mereka. Aula disulap menjadi sebuah tempat yang megah. Panggung
lengkap dengan dekorasi yang indah, sound sistem super mewah, dan segala hal
yang menyenangkan telah tersedia disana (tapi bukan seperti taman bermain).
Pukul 07.00 tepat, seluruh siswa SMA
Airlangga berkumpul di Aula untuk pembukaan acara, setelah itu perlombaan dimulai.
Aula menjadi penuh dengan para siswa, baik peserta atau para supporter memenuhi
aula, ada juga yang bergerombol di depan beberapa kelas yang digunakan untuk
lomba. Mungkin hanya lapangan yang terlihat sepi, walaupun tidak sepenuhnya
sepi, Vania ada disana.
Ia memantulkan
bola basket kasana kemari, terkadang Ia juga melakukan “JUMP SHOOT” atau bahkan “THREE POINT”. Yang tidak semua
anggota club basket putri bisa melakukannya. Vania berhenti memainkan bola
basket itu, Ia mengambil botol air mineral yang ada di tepi lapangan, dan
langsung menghabiskannya dengan satu tegukan, Vania duduk di antara pepohonan
yang ada di tepi lapangan. Beberapa hari terakhir ini Vania sering sekali
menghabiskan waktu istirahatnya di lapangan, entah itu bermain bola basket atau
terkadang hanya duduk termenung di bawah pepohonan, persis seperti yang Ia
lakukan saat ini. Dan itu Ia lakukan, setelah pertengkarannya dengan Revan
minggu lalu.
Sementara itu di aula, siswa kelas 12 IPA 3
kebingungan karena tiba tiba Ratna, perwakilan lomba baca puisi terkena Typhus
dan harus dirawat di rumah sakit.
“ Ya terus sekarang kita mesti gimana dong
?!” Tanya Sera panik.
“ Oke , Kamu tenang dulu dong Ser. Jangan
panik.” Ujar Revan berusaha menenang kan temannya yang satu itu.
“ Rev, bukannya kamu nyuruh Vania buat jadi
cadangan ya, kenapa kita nggak minta dia aja buat gantiin Ratna” Usul Daffa.
“ Caranya ?, ayolah dulu aja waktu aku minta
dia jadi cadangan susahnya minta ampun, apalagi sekarang disuruh buat mewakili
kelas.” Ujar Revan
“ Ya, kamu kan ketua kelas, gimana caranya kamu
bisa bujuk dia supaya mau, lagi pula yang namanya cadangan itu dibuat, supaya
kalau ada apa apa sama tim inti ada yang bisa menggantikan.” Ujar Daffa
“ Ya, oke, oke, aku akan bujuk dia, tapi aku
nggak janji dia mau.” Ujar Revan kemudian pergi menemui Vania. Tidak sulit
untuk menemukan Vania, Revan sudah tahu di mana Vania sekarang. Vania masih
duduk dengan membenamkan wajahnya pada kedua kakinya yang ditekuk hingga ke
dada, saat Revan berada di sampingnya. Vania menyadari bahwa ada seseorang di
dekatnya saat ini, Ia mengangkat wajahnya dan melihat Revan. Vania langsung membuang
pandangannya ke tengah lapangan.
“ Mau apa kamu ke sini ?” Tanya Vania dengan
tetap memandang ke tengah lapangan.
“ Anak anak minta supaya kamu mau
menggantikan Ratna di perlombaan baca puisi.” Jawab Revan singkat.
“ Nggak nggak nggak, kan aku udah pernah
bilang kalau aku nggak akan pernah mau ikut acara seperti ini, nggak ah !” Ujar
Vania sedikit kesal.
“ Kalau ini karena pertengkaran kita, tolong
lupakan semua itu, aku mohon jangan sangkut pautkan hal itu dengan ini, kamu
lakukan ini demi kelas, kamu nggak mau ngelakuin ini demi kelas ?” Ujar Revan tegas.
“Ya, ya terus aku harus pake baju kayak gini
?” Ujar Vania mengelak. Saat itu Ia memang hanya mengenakan pakaian sederhana
(celana jins ¾, kaos oblong berwarna biru laut, dan sepatu cats putih).
“ Kalau kamu mau, kamu bisa pinjam gaun
milikku.” Ujar seorang gadis yang sepertinya sudah ada di belakang mereka sejak
tadi. Terra, murid pindahan dari Surabaya. Dia baru masuk sekitar 3 hari yang
lalu, jadi dia tidak ambil bagian dalam even kali ini.
“ Gaun kamu, maksudnya ?” Tanya Vania heran.
“ Rumahku tidak jauh dari sini, dan aku rasa
mungkin tidak akan sempat jika kamu harus pulang dulu, kebetulan juga aku punya
banyak sekali gaun yang bisa kamu kenakan.” Ujar Terra. Revan langsung
menyetujui hal itu, dengan susah payah Vania dibawa ke rumah Terra yang hanya
sepelempar batu dari sekolah. Sampai di sana Vania masih saja membuat ulah,
yang katanya gaunnya nggak cocok lah, make up nya terlalu tebal lah, dan lain
sebagainya.
Setelah 15 menit di “otak atik” oleh Terra,
mereka kembali ke sekolah, saat melintasi lapangan Vania terus menundukkan
kepalanya. Beberapa anggota club basket sedang bekumpul disana, ‘ngapain sih
anak anak pake kumpul di situ segala!’ gerutu Vania dalam hati
“ Hei, bukannya itu ‘Ratu Lapangan’ ?” Teriak
seorang siswa, serentak seluruh siswa yang sedang ada di lapangan itu
mengalihkan pandangan mereka ke arah Vania. Mereka seperti melihat seorang
bidadari yang baru turun dari atas genteng, tak berkutik sama sekali. Vania
memang terlihat berbeda, ia sangat cantik dengan dress berwarna ungu muda
setinggi lutut, Sepatu ber-hak tinggi sekitar 5 cm, rambut yang biasa di kuncir
kuda kini digerai dengan pita merah jambu yang menghiasi kepalanya. Make-up
yang ia pakai juga tidak berlebihan, sangat serasi dengan gaun yang ia kenakan.
“ Wah, wah, wah ternyata ratu lapangan kita
yang satu ini bisa jadi Cinderella juga ya.” Goda Sera pada Vania yang baru
saja memasuki aula.
“ Apaan sih Ser, Aku jadi kayak gini juga
karena kelas kita tau !” Ujar Vania dengan wajah yang tertekuk.
“ Udah, udah nggak usah ribut, sekarang kan
kita udah bisa tenang karena ada yang mewakili kelas kita di perlombaan ini,
dan kamu memang terlihat cantik Vania, jadi jangan marah kalau ada orang yang
memujimu.” Puji Terra, wajah Vania langsung berubah menjadi merah seperti tomat
yang baru saja matang.
“ Nih.” Ujar Revan sambil mengangsurkan
selembar kertas pada Vania “ Itu puisi yang dibuat sama Ratna kemarin, !”
lanjut Revan tanpa memandang Vania
“Ini
yang harus aku baca ?” Tanya Vania yang juga tidak memandang Revan.
“ Hmm..” jawab Revan singkat, kemudian
meninggalkan aula.
Satu demi satu
peserta menampilkan bakat membaca puisi yang menakjubkan dengan berbagai tema,
ada yang menggunakan alat peraga, ada yang menggunakan alunan music, dan lain
sebagainya. Vania merasa gugup, karena ini pertama kalinya ia harus tampil di
depan umum sendirian, karena biasanya ia tampil beregu dengan tim basket atau
tim softball-nya, dan kali ini tanpa persiapan pula. Berkali kali Vania pergi
ke kamar mandi, dan tak jarang ia menggigiti ibu jarinya. Gugup katanya.
Kini saat yang
sudah di tunggu siswa 12 IPA 3, Vania naik ke atas panggung, kedua kakinya
gemetar, keringat dingin mulai bercucuran, Vania mulai membacakan puisi yang di
buat Ratna dengan sangat indah, para guru yang menjadi juri tidak percaya bahwa
gadis yang di juluki RATU LAPANGAN ini bisa membawakan puisi dengan begitu
indah. Puisi berjudul “SAHABAT” itu berhasil membuat seisi aula merinding.
Semua larut dalam untaian kata yang di ucapkan Vania, ekspresi serta gesture
tubuhnya membuat puisi yang ia bawakan semakin indah. Tak ada yang percaya
bahwa Vania bisa membawakan puisi seindah itu. Revan yang sedang bersandar di
pintu aula tersenyum kecil, seakan ia sudah tahu bahwa Vania memang akan
membawakan puisi itu dengan indah. Puisi selesai dibacakan seisi ruangan
bangkit dan bertepuk tangan. Vania yang masih gemetar segera turun dari atas
panggung. Di belakang panggung, teman teman Vania menyambutnya dengan gembira.
Sera bahkan memeluk sahabatnya itu dengan erat.
“Tuh kan, aku
bilang juga apa, kamu pasti bisa kok !” ujar Sera bangga.
“ Iya,iya
percaya deh.” Ujar Vania sambil
tersenyum.
Revan hanya bisa
melihat kegembiraan itu dari kejauhan. Ia tak ingin kebahagiaan teman temannya
itu hancur hanya karena kehadirannya. Vania tampak sangat bahagia, ia terus saja
tersenyum. Tanpa tahu bahwa ia sedang diperhatikan.
“ Kalau dia
emang sahabat kamu, seharusnya kamu ke sana dong, bukannya ngumpet di sini !”
Revan
terperanjat saat tahu siapa yang ada di belakangnya saat itu.
“ Daffa,
ngagetin aja !” Ujar Revan masih dengan wajah terkejutnya.
“ Kalau kamu
tetap di sini, kamu nggak akan pernah jadi sahabat nya lagi.” Ujar Daffa dengan
nada bijak yang sering ia gunakan untuk menasehati teman temannya.
“ Kamu nggak
tahu masalahnya Daf, ini tuh….ini…” Revan
terlihat sulit untuk mengungkapkan apa yang ada di otaknya saat ini.
“ Rev, aku kasih
tahu ya, kalau Vania itu emang bener-bener sahabatmu, dia akan maafin kamu
apapun alasan kamu nantinya.” Ujar Daffa sambil melipat kedua tangannya ke
depan dada.
Apa benar Vania
akan memaafkannya semudah itu, apa yang di katakana Daffa itu benar, apa bisa…….
Revan mengembalikan perhatiannya pada Vania, gadis itu masih terus bercanda
dengan bersama anak anak lainnya. Revan tak tahu apa yang harus ia lakukan saat
itu, ia menundukkan kepalanya, raut wajahnya berubah seketika, lama ia larut
dalam kenangan nya bersama Vania. Saat ia mengangkat kepalanya, Vania sudah ada
di hadapannya. Revan hampir meloncat karena terkejut.
“ Kenapa
terkejut seperti itu ?” Ujar Vania
“ Kenapa
kamu….., bukannya tadi kamu….”
“ Ya, tadi Daffa
bilang kamu mau bicara sama aku, bicara apa ?” Tanya Vania
“ Bicara ?,
nggak, siapa yang mau ngajak kamu bicara.” Ujar Revan sambil terus melihat
Daffa yang sudah bersama teman temannya. Vania tampak kecewa dengan jawaban
Revan.
“ Ya udahlah
kalau emang kamu nggak mau bicara, aku balik aja deh !” Ujar Vania sambil
membalikkan badannya. Revan menahannya dengan menarik lengan Vania
“ Tunggu
sebentar, iya sih ada yang mau aku bicarakan sama kamu.” Ujar Revan “ tapi
nggak di sini.”
Vania
mengerutkan dahinya, ia bingung dengan apa yang sedang di lakukan Revan, sejak
mereka tiba di lab Bahasa, ia hanya diam dan mondar mandir tidak jelas. Vania
baru saja akan membuka pintu saat Revan menarik tangannya.
“ Tunggu, aku minta maaf .” Ujar Revan. Vania menutup
kembali pintu yang sudah setengah terbuka itu. Ia memandang Revan heran, untuk
apa ia meminta maaf, pikirnya.
“ Aku tau kamu
marah sama aku karena artikel yang aku buat di majalah sekolah setahun yang lalu
itu kan, tapi kenapa, aku nggak nulis hal hal jelek tentang kamu di artikel
itu.” Ujar Revan dengan suara yang mulai parau. Saat itu Vania ingat bahwa ia
dan Revan sedang bermusuhan, wajah Vania langsung berubah 180o .
dari wajah yang kebingungan menjadi wajah yang sedih.
“ Nggak nulis
hal yang jelek tentang aku ?, kok kayaknya itu nggak mungkin ya !” Ujar Vania
sembari melipat kedua tangannya ke depan dada. Revan memandang Vania bingung,
apa yang di katakana gadis ini ?.
“ Kalo kamu
nggak nulis hal yang buruk tentang aku, Vannesa ketua fansclub kamu itu nggak mungkin menemuiku sambil marah marah !”
Ujar Vania sambil tetap tidak melihat ke arah Revan.
“ Ja..jadi
Vannesa ngelabrak kamu, kok kamu nggak pernah cerita sama aku ?” Tanya Revan
terkejut. Vania mendengus kesal, ia heran dengan pertanyaan anak ini, sudah
jelas jelas yang menyebabkan Vannesa marah adalah artikel yang Revan buat
sendiri, masih tanya kenapa ia tidak menceritakan hal itu.
“ Aku bener bener
nggak nulis hal yang buruk tentang kamu, emangnya kamu nggak baca artikel itu
?” Tanya Revan. Vania menggelengkan kepalanya. Revan menghela nafas panjang, Ia
sudah menduga hal ini. Ia berjalan menuju sudut ruangan itu, ia mengorak arik
tumpukan kertas yang ada di sana, dan mengambil sebuah majalah, majalah
sekolah.
“ Nih, aku inget
ada satu majalah yang di tinggalkan bu Sarah di sini waktu itu.” Ujar Revan
sambil mengangsurkan majalah itu pada Vania. “ Kamu buka halaman 12 dan kamu
baca sendiri artikel yang aku buat itu.” Lanjut Revan.
Vania segera
membuka majalah itu tepat di halaman 12, ia membaca tulisan yang ada di sana
dengan hati hati. Beberapa paragraph sudah ia baca dan setiap kalimat yang ia
baca semakin membuat Vania tercekat, yang di tulis oleh Revan adalah biografi
dan semua prestasi yang ia raih selama ia sekolah di SMA Airlangga ini. Kalimat
terakhir yang ia baca membuatnya terpaksa meneteskan air mata.
‘ Vania bukan
hanya gadis yang pandai dalam olahraga, hingga ia mendapat julukan RATU LAPANGAN di sekolah, ia juga sahabat
yang sangat baik, sulit mencari sahabat seperti dia, sempat aku berfikir untuk
membuat hubungan ini lebih dari sekedar sahabat, namun jika hubungan ini lebih
dari sahabat, tidak akan ada sahabat yang bisa ku banggakan, tidak akan ada
sahabat yang menjengkelkan, tidak ada sehabat yang akan mengingatkanku untuk
selalu belajar, tidak ada sahabat yang mengomeliku habis-habisan jika aku
membuat kesalahan dan mungkin akan ada perpisahan jika aku memulai hubungan itu,
karena dengan menjadi sahabatnya tidak akan ada kata pisah diantara kami, dan
aku berharap persahabatan ini tidak akan pernah berakhir, bahkan hingga akhir
nafas ini.’ Setelah membaca paragraph
terakhir itu Vania menundukkan kepalanya, air mata mengalir tanpa bisa dicegah.
“ Rev, maafin
aku, harusnya aku… aku….” Vania tidak bisa melanjutkan kata katanya ia terus
terisak. Revan mendekati Vania perlahan, lalu memeluknya.
“ Kamu nggak
perlu minta maaf, aku tau Vannesa itu orangnya kayak gimana, dia memang sudah
menyukaiku sejak lama, jadi mungkin kalimat terakhir itu yang membuatnya marah
dan melabrakmu, aku minta maaf.” Ujar Revan sambil mempererat pelukannya. Revan
yang sedari tadi menahan air matanya, tak bisa lagi menahannya, keduanya
menangis dalam diam. Cukup lama.
Revan melepas
pelukannya, ia memandang Vania yang masih terisak. Vania mengusap kedua
matanya.
“ Udah jangan
nangis, dasar cengeng.” Ujar Revan
dengan nada menggoda
“ Apaan sih.”
Ujar Vania sambil memukul pelan lengan Revan. “ Maafin aku ya, harusnya aku
baca dulu artikel kamu, gara-gara aku teledor, kita jadi musuhan lama banget.”
Lanjut Vania yang sudah berhenti terisak. Revan menepuk dahi Vania dan
tersenyum.
“ Jadi kacang
lagi deh.” Ujar Sera kesal. Memang sejak keluar dari gerbang sekolah, Revan dan
Vania terus bercanda tanpa mempedulikan Sera yang ada di sebelah mereka.
“ Jangan ngambek
gitu dong Ser, aku kan juga pengen ngobrol sama Vania!” Ujar Revan dengan nada
menggoda
“ Iya, tau deh
yang baru baikan, kenapa nggak sekalian aja kalian pacaran.” Cetus Sera tanpa tampang
bersalah sedikit pun. Revan dan Vania serempak menoleh ke arah Sera, wajah
keduanya bersemu merah karena malu. Sera yang menyadari hal itu langsung
berbelok menuju blok C. “ da, entar malah jadi obat nyamuk lagi.” Ujarnya
sambil berlari. “ Anak itu !!!” Ujar Vania geram
Persimpangan
jalan di dekat sungai, tempat Revan dan Vania pertama kali bertemu. Revan turun ke tepian sungai, Vania tampak
heran melihat temannya itu tiba tiba turun ke tepian sungai, wajah Revan tampak
tenang dan damai, ia mengambil nafas dalam dalam dan menghembuskannya perlahan.
“ Kamu ngapain
sih ?” Tanya Vania heran, Revan membalikkan badannya, ia menarik Vania ke
tepian sungai. “ Masih ingat tempat ini ?” Tanya Revan ringan, Vania
menganggukkan kepalanya, dan saat semburat cahaya jingga berada di ufuk barat,
ia baru tahu apa yang di rasakan Revan saat ini, perasaan tenang dan damai,
perasaan yang selama ini mungkin sudah ia lupakan, Vania memandang ke arah
Revan, pandangannya masih lurus menatap indahnya senja,
“ Revan, aku mau
Tanya sesuatu deh, kenapa semua tulisan kamu yang ada di majalah sekolah edisi
itu nggak ada judulnya ?” Tanya Vania
“ Menurut kamu
kenapa ?”
“ Lah kok jadi
balik nanya sih, ya mana aku tau.” Ujar Vania kesal
“ Hmp, kamu lucu
tau nggak kalo lagi ngambek gitu. Iya,iya aku jawab. Tulisanku emang sengaja
nggak aku kasih judul, selain takut nggak sinkron sama isi nya aku juga
berpikir apa gunanya judul.” Jelas Revan sembari menurunkan badannya ke tanah.
Duduk.
“ Ya kan bisa,
kamu kasih judul kayak “BIOGRAFI VANIA YANG CANTIK” hehehe.” Ujar Vania dengan
nada menggoda. Revan tersenyum sambil menggelengkan kepalanya,
“Nggak bisa
kayak gitu dong, untuk ku judul nggak begitu penting, karena isi dari tulisan
itulah yang penting, sama kayak kehidupan, apa kamu pernah memikirkan untuk
memberi sebuah kehidupan itu judul ?, kalau pun ada pasti judul itu akan
berubah sesuai dengan apa yang kita alami selama kita hidup, makanya untuk saat
ini, saat tulisan ku belum bisa di bilang bagus aku nggak mau ngasih judul,
mungkin nanti kalau aku udah jadi penulis yang hebat” Vania terkesan dengan apa
yang keluar dari mulut Revan, tapi apa yang keluar dari mulut Revan memang
selalu terdengar indah. Sama ketika Revan mengatakan “Maaf” padanya berulang
kali. Senja yang Indah, bayangan mereka mulai tak terlihat lagi, karena
matahari telah kembali ke peraduannya. Tapi keduanya masih ingin terus berada
di sini, di tempat mereka bertemu, dan dipertemukan kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar